Pengertian fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang
positif atau yang negatif, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau
pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau
diubah. (A Favourable or unfavourable belief or judjment, made without adequate
evidence and not easily alterable by the presentation of contrary evidence.
Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen
rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut
sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam;
(a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi
sesuatu,
(b) dalam berfikir dan memutuskan,
(c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
(d) dalam merasa.
Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak
mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah
orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka
yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan
memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya,
benar atau salah.
Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk:
(a) fanatik warna kulit,
(b) fanatik etnik/kesukuan, dan
(c) fanatik klas sosial.
Fanatik
Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan
kepanjangan dari fanatik etnik atau kelas sosial.
Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha perlawanan
kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya
tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga
dalam arti minoritas peran (Kualitas).
Di negara besar semacam Amerika misalnya juga masih
terdapat kelompok fanatik seperti :
1. Fanatisme kulit hitam (negro)
2. Fanatisme anti Yahudi
3.
Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran
4. Fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.
Analisis Terhadap Fanatisme
Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di
negri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada
kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis.
Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan
manusia atau karena direkayasa?
1. Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik
itu merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan
masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang
memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekwensi
logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik
tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.
Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada
orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu
kemudian melahirkan pengelompokan “in group” dan “out group”. Fanatisme dalam
persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang
sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda. Ketidak sukaan itu tidak
berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai
(dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang
tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena
adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).
Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti
cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai - dapat
dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni
bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya
atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang
menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang
yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang
sempit.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah
manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini
ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak,
tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa
dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang
tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia,
pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan
disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan
berbeda-beda sebabnya.
3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari
tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Freud ketika ia menyebut instink Eros
dan Tanatos.
4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa
fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan
dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi
yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian
dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal
terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu
kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan
menghancurkan dirinya.
Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat
biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem
sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Kita
bisa menelaah fenomena gerakan ektrim radikal pada masa orde baru dimana
kelompok yang ektrim selalu berasal dari kelompok yang terpinggirkan atau
merasa terancam, dan kelompok-krlompok itu sering bertukar peran.
Menurut Dr. Abd. Rahman Isawi, seorang psikolog dari
Universitas Iskandariyah, jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan
bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi
dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi.
Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain.
Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain.
Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk
membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu
daripada diserang, maka orang itu menjadi agresif.
Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
untuk mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan
menggunakan satu teori, karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor,
bukan oleh satu faktor saja.
Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok
orang di suatu tempat atau di suatu masa.
boleh jadi;
(a) merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal,
tetapi boleh jadi,
(b) merupakan perwujudan dari motiv pemenuhan diri
kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.
Cara Mengobati Perilaku Fanatik
Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda,
maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan
ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik
yang disebabkan oleh perasaan tertekan , terpojok dan terancam, maka
pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu.
Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi
tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik
pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam.
Oleh karena itu jika dalam suatu negara keadilan dapat
ditegakkan, dan rasa keadilan dapat dinikmati oleh semua aspiran, maka aspirasi
garis keras akan mencair dengan sendirinya. Sebaliknya jika ditekan dengan
kekerasan, maka pandangan itu semakin keras, dan semakin tidak mengenal
kompromi.
Biaya memahami perilaku orang-orang yang dianggap
berbahaya itu lebih murah dibanding biaya menumpas mereka dengan keras, apalagi
jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat. Nah Psikologi yang tepat untuk
memahami fenomena “terorisme” di Indonesia adalah Islamic Indigenous
Psychology, yang Insya Allah akan menjadi mazhab ke lima dalam sejarah ilmu
Psikologi.
2. Pengertian Toleran
Toleransi
adalah kesiapan menerima realitas adanya perbedaan. Karena perbedaan itu
merupakan realitas maka orang yang toleran tidak merasa terganggu oleh adanya
perbedaan, sebaliknya perbedaan itu dihormati. Etika agamapun mengajarkan bahwa
seseorang boleh bekerja-sama dengan orang yang “berbeda” dalam menegakkan
keadilan, dalam membangun kesejahteraan sosial, dalam membela si lemah dan
hal-hal yang yang bernilai kebaikan. Di mata orang-orang yang toleran,
keragaman adalah keindahan dan potensi. Tetapi toleransi juga dibatasi, tidak
pada pada hal-hal yang destruktip. Orang tidak boleh toleran terhadap pengedar
narkoba, terhadap kemaksiatan terbuka, terhadap korupsi dan hal-hal lain yang
berdampak merusak masyarakat. Toleransi beragama wujudnya ialah setiap orang
beragama bisa menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda keyakinannya,
dan berbeda pula ritual agamanya.
Toleransi biasanya mulai terganggu ketika ada fihak yang
berlaku tidak fair, melanggar kesepakatan, melanggar peraturan dan mempunyai
agenda tersembunyi. Perilaku tidak fair ini lama kelamaan bisa berkembang
menjadi bom waktu sehingga hal-hal yang wajarpun dipersepsi sebagai sesuatu
yang tidak wajar. Fanatik dan toleransi merupakan tantangan ummat beragama,
baik di wilayah yang mayoritas muslim, Hindhu maupun Kristen.
Berikut ini ada tulisan yang sangat menarik dari Lord
Azyumardi Azra, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, tentang Toleransi dan Kristenisasi
Dimuat oleh Koran Republika tanggal. 2 Desember 2010.
KRISTENISASI DAN TOLERANSI
Tidak diragukan lagi, toleransi dan kerukunan antar agama
atau persisnya antar umat beragama sering terganggu karena usaha penyebaran
agama yang agresif. Penyebaran agama tidak terlarang di Tanah Air. Meski
demikian, pemerintah telah menetapkan agar penyebaran agama tidak menjadikan
individu dan masyarakat yang telah memeluk agama tertentu sebagai target
pengalihan agama, apalagi secara agresif dengan menggunakan cara-cara yang
tidak pantas; menggunakan segala cara dan bahkan tipu daya. Jika ini terjadi,
tidak bisa lain, ketegangan dan bahkan konflik sulit dielakan dan tidak jarang
membuat sulit aparat keamanan.
Argument yang tidak baru ini sesuai dengan analisis dan
kesimpulan policy briefing Internasional Crisis Group (ICG) yang diumumkan
pekan silam (24/11/2010). Bertajuk ‘Indonesia “ Christianisation” and
Intolerance’, ICG menyimpulkan, serangkaian kejadian yang melibatkan penggunaan
kekerasan antar umat beragama di Bekasi terkait kasus gereja dan jemaat Kristen
HKBP sejak 2008 dan meningkat pada pertengahan 2010 merupakan backlash (reaksi
balik) kalangan umat Islam terhadap evangelisasi gereja Protestan fundamentalis
yang terus meningkat di Jawa Barat, khususnya di Bekasi. Ketakutan dan
kemarahan kalangan Islam memberikan justifikasi kepada kelompok-kelompok yang
disebut ICG sebagai ‘fundamentalis’ untuk melakukan mobilisasi masa (Muslim)
dan melakukan kekerasan terhadap gereja atau jemaat denominasi Kristen tertentu.