Daftar isi

Wednesday, 6 August 2014

PENGARUH ISLAM DALAM PRAKTIK AGAMA DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA




Islams  ebagai agama, dalam berbagai hal, memiliki ajaran-ajaran yang fleksibel, terutama menyangkut masalah sosial dan budaya. Al-Quran dan hadist-hadist Nabi cukup banyak memuat pernyataan (firman Tuhan dan ucapan Nabi Muhammad) yang mengajak umatnya untuk berpikir. Maka dan itu, dalam ajaran Islam dikenal dengan metode iijtihad, yaitu langkah dalam menafsirkan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran dan hadis yang kedudukan hukumnya belum jelas, secara musyawarah. Dengan demikian, setiap
ulama memungkinkan untuk mengambil tafsiran yang berbeda-beda. Apalagi sejarah perkembangan Islam membuktikan adanya empat mahzab yang berbeda, Maliki, Hanafi, Hambali, Syafei. Masing-masing mahzab memiliki tolak ukur yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Dan setelah Islam bersentuhan dengan budaya yang non-Arab, maka ajaran-ajarannya sedikit banyaknya mengalami pergeseran, bahkan ada yang melenceng jauh dan akidah dan syariah Islam yang memang bersifat absolute dan mutlak. Masyarakat Indonesia sendiri mayoritas menganut mahzab Syafei.
Aspek peribadatan adalah aspek yang paling kentara pengaruh dalam masyarakat Indonesia. Para sejarawan sebagian berpendapat bahwa pengaruh Islam ke Indonesia pertama kali dibawa oleh perantara kaum tasawuf sehingga amalan yang banyak dipraktikkan umat Islam, khususnya di Jawa, adalah ajaran yang cenderung bersifat esoteris, artinya kebanyakan umat Islam untuk pertama kali lebih banyak menghayati Islam dan aspek kebatinannya saja. Hal mi sangat sesuai dengan cakrawala religious yang dimiliki oleh orang Jawa yang sebelumnya telah terpengaruh secara kuat oleh kebudayaan Hindu-Buddha. Kitab-kitab yang menggambarkan proses masuknya Islam, seperti hikayat, babad, serat, banyak yang diselubungi oleh cerita-cerita magis dan tidak rasional. Namun dalam perkembangan selanjutnya, aspek-aspek eksoteris (yang boleh diketahui siapa saja) banyak dilaksanakan oleh kaum muslim seiring dengan dakwah yang bersifat syariah oriented, berkembang dengan pesat. Pada tahap mi salat, zakat, shaum dan haji mulai diperkenalkan. Islam dengan segala ritual peribatannya mulai tumbuh dan berkembang. Walau demikian, proses akulturasi antara kedua kepercayaan tidak bisa dihindari lagi. Ajaran Islam dan ajaran Hindu-Buddha menyatu dan akhirnya membentuk paham dan “aliran” baru. Oleh orang Jawa, aliran ini disebut kejawen. Bila memperhatikan stratafikasi sosial yang telah diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java, masyarakat Jawa bisa dikategonikan dalam 3 strata sosial. Pertama adalah golongan Islam-priyayi yang mewakili golongan bangsawan dan keturunan kerajaan. Kedua adalah abangan, yaitu golongan yang tidak terlalu mementingkan aspek-aspek keagamaan. Mereka masih terpengaruh dengan alam berpikir praIslam. Ketiga adalah santri , golongan yang disiplin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Akulturasi dan asimilasi kebudayaan agama Hindu-Buddha dengan Islam paling banyak dilakukan oleh kaum abangan.
Golongan mi kebanyakan melaksanakan ajaran yang sinkretis. Mereka mempraktikkan tradisi-tradisi Hindu seperti mempersembahkan sesaji untuk nenek moyang, memakai kemenyan setiap waktu tertentu, dan praktik ritual lainnya Sementara santri hampir secara keseluruhan menolak aspek-aspek yang terdapat dan tradisi Hindu, apalagi menyangkut permasalahan kepercayaan dan ritual peribadatan. Ritual peribadatan dalam Islam yang sampai han mi berpengaruh misalnya: perayaan tabut di Sumatera Barat, han raya Assyura sebagai han raya kaum Syiah atas kematian Husein bin Abi Thalib di Karbala oleh orang-orang Khawarij. Di Yogyakarta ada upacara sekaten dan grebeg Maulud yang dihitung pada tahun baru Hijriyah. Di daerah Sunda dan daerah lain ada upacara ekahan atau “aqiqah”, yakni acara pemotongan rambut pada bayi yang baru berusia 7 han yang memang merupakan sunat Nabi Muhammad. Perayaan-perayaan keagamaan lainnya yang dilaksanakan umat Islam di Indonesia adalah shalat Idul Fitri, Idul Adha, hara Isra Mi’raj, puasa pada bulan Ramadhan, dan lain-lain.
Para ulama, termasuk wall, berperan besar terhadap penyebaran Islam. Mereka pada mulanya mendirikan pesantren-pesantren di sekitar kota pelabuhan (sebagai tempat transit kapal-kapal dagang) guna menyebarkan dakwah Islamnya. Istilah “pesantren” berasal dan ucapan “pesantrian”, yakni tempat para santri menimba ilmu agama. Di sinilah calon-calon santri—yang tadinya nonmuslim dididik oleh guru-guru mereka untuk membaca Al-Quran, baca tulis huruf Arab, dan segenap aspek Islam lainnya. Materi-materi yang diajarkannya sebagai besar meliputi hukum (syariat) Islam Para Wali di Jawa, contohnya, sebelum berkumpul di Masjid Demak, terlebih dahulu membuka pondok-pondok pesantren di daerah lain. Sunan Ampel menjadi guru spiritual di Ngampel Denta di Giri; Sunan Gresik memiliki pondok pesantren di Gresik; Sunan Kalijaga mengasuh pesantren di Kadilangu, dekat Demak. Sistem pendidikan Islam tradisonal ini—dalam arti belum  tersentuh sistem pendidikan ala Barat—berlangsung hingga abad ke-18. Setelah pendidikan formal Barat diperkenalkan, materi- materi yang diajarkan dipesantren bertambah. Malah banyak di antaranya pesantren tersebut yang menjadi pelopor perlawat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas nama Tuhan dat semangat jihad melawan kaum penjajah yang kebetulan berbeda keyakinan, pondok-pondok pesantren merupakan pusal perlawanan. Meskipun semangat juang mereka belum didasar’ semangat nasionalisme dan hanya bersifat kedaerahan, kaum santri yang didukung oleh rakyat setempat dan segelintir kauii bangsawan begitu gigih dan berani mati. Contoh-contoh perlawanan yang bersifat sosial dan lokal, di antaranya perlawanan rakyat Cilegon, Banten, yang dipimpin oleh Tugabw Ismail pada tahun 1818

Untuk mengetahui lebih lanjut mari kita melihat 3 point seperti yang ada dibawah ini :



No comments:

Post a Comment

Labels