Daftar isi

Saturday, 9 March 2013

FANATIK DAN TOLERANSI




Pengertian fanatik

Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable belief or judjment, made without adequate evidence and not easily alterable by the presentation of contrary evidence.

Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam;
(a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
(b) dalam berfikir dan memutuskan,
(c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
(d) dalam merasa.

Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah.

Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk:
(a) fanatik warna kulit,
(b) fanatik etnik/kesukuan, dan
(c) fanatik klas sosial.


Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau kelas sosial.
Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha perlawanan kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas).

Di negara besar semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik seperti :
1. Fanatisme kulit hitam (negro)
2. Fanatisme anti Yahudi


3. Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran
4. Fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Analisis Terhadap Fanatisme

Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?

1. Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.

Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan “in group” dan “out group”. Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda. Ketidak sukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).

Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai - dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.

3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Freud ketika ia menyebut instink Eros dan Tanatos.

4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya.

Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Kita bisa menelaah fenomena gerakan ektrim radikal pada masa orde baru dimana kelompok yang ektrim selalu berasal dari kelompok yang terpinggirkan atau merasa terancam, dan kelompok-krlompok itu sering bertukar peran.

Menurut Dr. Abd. Rahman Isawi, seorang psikolog dari Universitas Iskandariyah, jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agresif.
Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori, karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja.
Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa.

boleh jadi;
(a) merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi,
(b) merupakan perwujudan dari motiv pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.

Cara Mengobati Perilaku Fanatik

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan tertekan , terpojok dan terancam, maka pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam.

Oleh karena itu jika dalam suatu negara keadilan dapat ditegakkan, dan rasa keadilan dapat dinikmati oleh semua aspiran, maka aspirasi garis keras akan mencair dengan sendirinya. Sebaliknya jika ditekan dengan kekerasan, maka pandangan itu semakin keras, dan semakin tidak mengenal kompromi.

Biaya memahami perilaku orang-orang yang dianggap berbahaya itu lebih murah dibanding biaya menumpas mereka dengan keras, apalagi jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat. Nah Psikologi yang tepat untuk memahami fenomena “terorisme” di Indonesia adalah Islamic Indigenous Psychology, yang Insya Allah akan menjadi mazhab ke lima dalam sejarah ilmu Psikologi.





    2. Pengertian Toleran

Toleransi adalah kesiapan menerima realitas adanya perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan realitas maka orang yang toleran tidak merasa terganggu oleh adanya perbedaan, sebaliknya perbedaan itu dihormati. Etika agamapun mengajarkan bahwa seseorang boleh bekerja-sama dengan orang yang “berbeda” dalam menegakkan keadilan, dalam membangun kesejahteraan sosial, dalam membela si lemah dan hal-hal yang yang bernilai kebaikan. Di mata orang-orang yang toleran, keragaman adalah keindahan dan potensi. Tetapi toleransi juga dibatasi, tidak pada pada hal-hal yang destruktip. Orang tidak boleh toleran terhadap pengedar narkoba, terhadap kemaksiatan terbuka, terhadap korupsi dan hal-hal lain yang berdampak merusak masyarakat. Toleransi beragama wujudnya ialah setiap orang beragama bisa menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda keyakinannya, dan berbeda pula ritual agamanya.

Toleransi biasanya mulai terganggu ketika ada fihak yang berlaku tidak fair, melanggar kesepakatan, melanggar peraturan dan mempunyai agenda tersembunyi. Perilaku tidak fair ini lama kelamaan bisa berkembang menjadi bom waktu sehingga hal-hal yang wajarpun dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak wajar. Fanatik dan toleransi merupakan tantangan ummat beragama, baik di wilayah yang mayoritas muslim, Hindhu maupun Kristen.

Berikut ini ada tulisan yang sangat menarik dari Lord Azyumardi Azra, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, tentang Toleransi dan Kristenisasi Dimuat oleh Koran Republika tanggal. 2 Desember 2010.

KRISTENISASI DAN TOLERANSI

Tidak diragukan lagi, toleransi dan kerukunan antar agama atau persisnya antar umat beragama sering terganggu karena usaha penyebaran agama yang agresif. Penyebaran agama tidak terlarang di Tanah Air. Meski demikian, pemerintah telah menetapkan agar penyebaran agama tidak menjadikan individu dan masyarakat yang telah memeluk agama tertentu sebagai target pengalihan agama, apalagi secara agresif dengan menggunakan cara-cara yang tidak pantas; menggunakan segala cara dan bahkan tipu daya. Jika ini terjadi, tidak bisa lain, ketegangan dan bahkan konflik sulit dielakan dan tidak jarang membuat sulit aparat keamanan.

Argument yang tidak baru ini sesuai dengan analisis dan kesimpulan policy briefing Internasional Crisis Group (ICG) yang diumumkan pekan silam (24/11/2010). Bertajuk ‘Indonesia “ Christianisation” and Intolerance’, ICG menyimpulkan, serangkaian kejadian yang melibatkan penggunaan kekerasan antar umat beragama di Bekasi terkait kasus gereja dan jemaat Kristen HKBP sejak 2008 dan meningkat pada pertengahan 2010 merupakan backlash (reaksi balik) kalangan umat Islam terhadap evangelisasi gereja Protestan fundamentalis yang terus meningkat di Jawa Barat, khususnya di Bekasi. Ketakutan dan kemarahan kalangan Islam memberikan justifikasi kepada kelompok-kelompok yang disebut ICG sebagai ‘fundamentalis’ untuk melakukan mobilisasi masa (Muslim) dan melakukan kekerasan terhadap gereja atau jemaat denominasi Kristen tertentu.

Seperti dilaporkan ICG, Jawa Barat merupakan wilayah yang sangat cepat pertumbuhannya bagi Kristen evangelis. Mengutip keterangan petinggi PGI, laporan ICG menyebut organisasi-organisasi besar evangelis dengan dukungan dana asing menjadikan Jawa Barat dan Banten sebagai target. Sebab, jika Kristenisasi sukses di kedua provinsi ini, mereka mendapatkan pijakan lebih kuat di ibu kota Negara, Jakarta. Pertumbuhan ini juga terkait dengan dana besar, khususnya dari AS bagi organisasi dan gereja evangelis guna melakukan evangelisasi di Jakarta dan sekitarnya- Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.

Laporan CGI juga menyebut beberapa organisasi evangelis yang sangat aktif di wilayah ini. Ada ‘Joshua Project’ yang menjadikan suku Sunda sebagai target khusus karena penduduk Kristennya kurang dua persen. Kemudian, Lampstad (Beja Kabuhangan), didirikan seorang Misionaris Amerika pada 1969, yang memusatkan misinya pada ‘evangelisme’ dan penanaman gereja diantara orang-orang Sunda di Jawa Barat’.

Selanjutnya, Partners Internasional yang berpusat di Spokane, Washington, yang dengan mitra lokalnya, mendukung Visi Indonesia 1:1:1, yaitu satu Gereja di satu desa dalam satu generasi. Untuk mencapai tujuan ini, Partners International bekerja melalui Evangelical Theological Seminary of Indonesia (ETSI) yang memiliki sekitar 30 cabang di seluruh Indonesia.

Lalu, ada pula organisasi Campus Crusade for Christ yang berbasis di Orlando, Florida, dengan cabang lokalnya, Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI). Lembaga ini pernah menimbulkan kehebohan ketika dalam kegiatan pelatihan ,mereka pada Desember 2006 di Batu, Malang, seorang pendeta meletakan Alquran di lantai dan meminta peserta pelatihan mengelilinginya untuk mengusir ‘roh jahat’ di dalamnya. Pedeta dan beberapa peserta pelatihan tersebut kemudian ditahan Polri atas alasan penodaan (blasphemy) terhadap Alquran dan Islam. Menurut laporan ICG, LPMI juga aktif di wilayah Jawa Barat.

Oraganisasi-organisasi evangelis yang berkomitmen mengkristenkan orang-orang Islam mendirikan apa yang dilaporkan ICG sebagai ‘shops’ (took), termasuk di Bekasi. Di wilayah Bekasi, ada Yayasan Mahanain yang disebut-sebut terkaya dan teraktif. Ada pula yayasan Bethmidrash Tamiddin pimpinan seorang Kristen yang awalnya Muslim, yang mewajibkan tamatan sekolahnya mengkristenkan sedikitnya lima Muslim. Dalam evangelisasinya, yayasan ini menggunakan kaligrafi Arab pada sampul buklet, seolah-olah isinya tentang Islam.

Pendekatan dan cara-cara tidak fair yang banyak sekali macamnya bisa diduga menimbulkan kegusaran umat Muslimin sehingga organisasi dan kelompok Islam melakukan apa yang disebut laporan ICG sebagai ‘fight back’ (perlawanan balik). Diantaranya yang paling aktif adalah DDII, KOMPAK, FUI, FPI, Forum Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB), GP, Persis dan banyak lagi.

Dengan perkembagan ini, tidak heran kalau tensi dan ketegangan antara kedua belah pihak meningkat, yang bahkan menjadi kekerasan. Seperti disimpulkan ICG, ‘Kristenisasi memiliki potensi mendorong peningkatan ekstremisme dan menyatukan (apa yang disebut ICG sebagai ) ‘nonviolent and violent Islamists’.

Karena itu, jika toleransi dan kerukunan antarumat beragama dapat terjaga di Indonesia, patutlah penyiaran agama dilakukan dengan tetap mempertimbangkan sensitivitas agama dan sosial; tidak dengan cara-cara yang menimbulkan keberatan, kegusaran, dan bahkan kemarahan pihak lain. Meski kemarahan itu punya dasar, tetap saja tidak ada justifikasi untuk terjerumus ke dalam kekerasan; cara-cara damai tetaplah harus ditempuh.




No comments:

Post a Comment

Labels