Daftar isi

Saturday, 12 October 2013

Tarian Pakarena di pulau Selayar pada masa Hindia Belanda.

Tarian Pakarena di pulau Selayar pada masa Hindia Belanda.


                Tari Pakarena
adalah tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik). Selain tari pakarena yang selama ini dimainkan oleh maestro tari pakarena Maccoppong Daeng Rannu (alm) di kabupaten Gowa, juga ada jenis tari pakarena lain yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu “Tari Pakarena Gantarang”. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini berasal dari sebuah perkampungan yang merupakan pusat kerajaan di Pulau Selayar pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata. Tarian yang dimainkan oleh empat orang penari perempuan ini pertama kali ditampilkan pada abad ke 17 tepatnya tahun 1903 saat Pangali Patta Raja dinobatkan sebagai Raja di Gantarang Lalang Bata.
        Tidak ada data yang menyebutkan sejak kapan tarian ini ada dan siapa yang menciptakan Tari Pakarena Gantarang ini namun masyarakat meyakini bahwa Tari Pakarena Gantarang berkaitan dengan kemunculan Tumanurung. Tumanurung merupakan bidadari yang turun dari langit untuk untuk memberikan petunjuk kepada manusia di bumi. Petunjuk yang diberikan tersebut berupa symbol – simbol berupa gerakan kemudian di kenal sebagai Tari Pakarena Gantarang. Hal ini hampir senada dengan apa yang dituturkan oleh salah seorang pemain Tari Pakarena Makassar Munasih Nadjamuddin. Wanita yang sering disama Mama Muna ini mengatakan bahwa Tari Pakarena berawal dari kisah perpisahan penghuni botting langi (Negeri Kayangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dahulu. Sebelum berpisah, botting langi mengajarkan kepada penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual ketika penduduk di bumi menyampaikan rasa syukur pada penghuni langit

Tari Pakarena merupakan kesenian Tradisional yang berkembang di Gowa, Sulawesi Selatan, tarian ini sering dipertontonkan pada acara khusus.
Asal-usul tarian Pakarena sendiri berasal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langit(negara kahyangan) dengan penghuni lino(bumi) pada zaman dahulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langit mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternakhingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan dan kaki.
Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langit.
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowo yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Tari Pakarena mencerminkan watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat kepada laki-laki terutama terhadap suami.
Tarian ini terbagi dalam 12 bagian, gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian. Sebetulnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk menjadi pertanda awal akhir Tarian Pakarena.
Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, merupakan cermin irama kehidupan manusia. Aturan pada tarian ini adalah seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matantya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, kaki tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Peraturan ini berlaku sampai pertunjukan selesai. Para penari, Tari Pakarena begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya, merupakan sebuh cerminan wanita Sulawesi Selatan.
Gandrung Pakarena, merupakan tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Musik Gandrung Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Musik ini juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrung atau gendang yang ditabuh bertalu-talu dilengkapi dengan tiupan seruling akan menghasilkan musik yang khas.
Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini begitu berpengaruh kepada para penonton. Mereka begitu bersemangat. Seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang biasa berlangsung semalam suntuk.

No comments:

Post a Comment

Labels