Daftar isi

Monday 4 August 2014

CONTOH CERITA LELAKI BERSAYAP EMAS” dan BERBAGAI MACAM PUISI


                                                    LELAKI BERSAYAP EMAS”
Novel dari energi “Eaglenest” di bumi Timika yang kini sudah tidak ada dan “Sun Eagle” di lembah Rinjani yang kini ada

By Kirana Kejora

Berikut ini adalah penggalan, sempalan atau cuplikan2 kecil Novel LBE yang 35 hal dari 253 hal aslinya…silakan jika kawan2 ikhlas membacanya sebagai test reading



PERTARUNGAN DIMULAI

Sinaran kemilau sang bintang raksasa mulai berdansa penuh romansa kehangatan, merambati seluruh penghuni ranah Papua. Bumi yang penuh dengan konsesi lahan tambang tiada ternilai, ditumbuhi hutan yang lebat dengan kekayaan aneka burungnya. Dari kepakan sayap nan gagah si elang hutan dan elang laut hingga gemulai lembut nan elegant si cendrawasih, sang bidadari tak berkaki dengan keragaman warna bulunya yang begitu memikat. Hutan Papua, hutan eksotik yang telah mempesona seorang lelaki, ilmuwan sejati yang bernama Elang Timur 9 tahun yang lalu.
Timur didampingi Frans asisten pribadinya, full speed mengemudikan Land Rover putih, meliuk-liuk dengan cantik pada beberapa tikungan tajam, bahkan pada tanjakan bersudut 60 derajat di putaran hutan Timika.
Frans santai sambil mulai mengisi peluru, mengokang senapan sniper semi automatic, sesekali mencoba membidik ke langit hutan lebat.
Sementara Timur dengan
santai mengisap rokok kreteknya, tajam menatap jalanan yang sudah mulai datar. Tiba-tiba mengagetkan Frans dengan teriakannya.
“Jangan kau tembak!”
Seketika itu Timur menghentikan laju mobilnya, sambil tangan kirinya menekan turun senapan yang dipegang Frans.
“Paradisaea apoda…”
Frans mengikuti arah tatapan mata Timur pada dua burung surga yang berekor panjang sedang bertengger pada rimbunan pohon, menarikan dengan indah bulu suteranya yang berwarna jingga dan kuning.
“Si burung bidadari yang cantik bos.”
“Sayang hanya burung Frans.”
Tiba-tiba dengan gesit Timur kembali melesatkan laju mobilnya, lantang melibas jalan. Dan memutar balik begitu saja ketika ada perempatan jalan setapak membuat Frans terhuyung, tubuhnya terbentur senapan dan pintu mobil, bahkan kepalanya kejedut dengan keras jendela mobil yang setengah terbuka. Dia meringis kesakitan sambil mengusap-usap pelipis kirinya yang nampak memar sedikit.
“Wauw!”
Timur hanya tersenyum kecil meliriknya.
“Sorry, sakit?!’
“Lumayan bos.”
“Aku pikirkan ganti sakit pelipismu ntar. Jangan cemas.”
“Oh, nggak usah bos. Lelaki baru begini saja sudah meraung. Pantang bos!”
“Great! Entahlah tiba-tiba saja aku menginginkannya…”
“Menginginkan apa bos?”
“Pada saatnya kau akan tahu.”
“Nggak jadi berburu bos? Kok balik?”
“Paradisaea apoda. Frans, aku begitu menginginkannya menjadi bidadari yang sesungguhnya.”
“Hahahaha…bos, mana mungkin.”
Frans tergelak mendengar kalimat Timur yang aneh itu.
“Hubungi capten John, besok air fast ada flight pagi jam berapa buat ke Jakarta.”
“Bos akan ke Jakarta? Nanti mr. Van de..”
“Sssst…its top secret ok? Jatah cutiku sekian tahun tak pernah kuambil penuh. Riset and riset, just that! Timur mulai lelah. Kau tak akan tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang. Sudah kau urus besok ke Nanin segala administrasinya. Toh riset awal sudah kelar dan aku acc. Si bule itu juga sudah deal dengan semua analisa report. Masih ada waktu 5 hari lagi untuk prepare riset lanjutan. Bermain cantiklah kau jadi aspriku.”
“Siap bos! Perlu pengawalan?”
“Dari dulu aku benci kawalan. Mereka saja yang ketakutan aku hilang. Aku lelaki, bukan banci!”
Bumi Kuala Kencana yang riuh. Metropolis yang sengaja diciptakan perusahaan emas raksasa itu baginya seperti gua besar di bawah kerak bumi, begitu sepi.
Kamar di Sheraton yang mewah untuk membaringkan penat tubuh setelah sekian jam berkutat dengan cairan-cairan kimia, mengolah rumus-rumus berat, tak membuatnya nyaman memejamkan matanya. Karena semua hanya pelarian semata, ketika kedunguan merambati hatinya kala itu. Meski prestisius jabatan dia sebagai satu-satunya ilmuwan dari Indonesia yang bisa menjabat Executive Enginering, jabatan mewah yang selama ini diincar para ilmuwan bule di perusahaan megah itu.
Kini kesepiannya mulai terusik. Kedinginannya mulai berontak, mencari selimut hati yang selama ini berada jauh terlipat di sebuah tempat yang begitu dekat dengan saingannya, Laut. Ya, nama Laut lah kini yang membayangi tiap jengkal langkahnya.
“Kali ini aku harus menang. Heh, kau hanya seniman. Penyair idealis yang tak punya apa-apa kecuali mimpi dan kata. Apa yang bisa kau buat untuk dia Laut? Akulah yang bisa membahagiakan dia kali ini. Secara hitungan matematis, logis dari sudut manapun aku lebih bisa!”
Kembali tersungging senyum kecil Timur mengecilkan daya arung Laut. Otaknya mulai digerogoti virus apatis dan sinis.


ROMANSA BERJARUM

Nampak bocah lelaki, yang bernama Laskar Agung sedang bermain dengan boneka spiderman dari bahan karet yang tingginya hampir sama dengannya. Dia berlari-lari kecil, Pipin, sang pengemban, tergopoh-gopoh mengikuti lasak larinya sang momongan sambil mencoba merayunya untuk makan.
Sebuah pemandangan yang begitu dinikmati Timur dari dalam mobil yang berhenti tepat di depan pintu pagar kayu rumah Jora. Dia melepas kaca mata hitamnya, membuka pintu mobil sembari memberi pesan pada Edo.
“Tinggalkan saya…”
“Dijemput jam berapa pak?”
“Nggak usah. Kamu balik aja ke hotel.”
“Siap pak!”
Timur lalu membuka pintu pagar yang tidak terkunci sambil membawa sebuah bungkusan cukup besar yang baru saja dibelinya disebuah pusat perbelanjaan dekat hotel tempatnya menginap dikawasan Mega Kuningan. Sengaja dibukanya sedikit isi bungkusan tersebut agar nampak oleh Laskar. Dengan senyum yang diusahakan semempesona mungkin. Bathinnya mantap.
“Lelaki kecil yang tampan. Daddy datang sayang!”
Semula sedikit ragu sambil menatap tapi karena dorongan bocah perindunya serta merta Laskar berlari ke arahnya karena menghindari Pipin, menabrak kaki Timur yang segera mengangkatnya. Menggendong Laskar yang di matanya penuh berbagai pikiran dan khayalan seorang bocah. Timur sangat pandai memprovokasi pikiran bocah itu yang langsung terpikat apalagi mengetahui Timur membawa bungkusan yang berisi boneka Spiderman yang sangat disukainya itu. Laskar langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Pipin setengah takut, memandang aneh Timur.
“Hmm maaf. Bapak siapa?”
“Om siapa?”
“Ayo kita buka. Ada 2 boneka Spiderman. Ini daddy belikan khusus buat Akar. Spiderman merah dan biru. Laskar pasti suka.”
Kalimat Timur semakin hebat dengan panggilan akrab untuk Laskar. Sekat dihati bocah itu sirna seketika dengan senyum lugu bocahnya karena rasa suka yang menggunung. Senyum Timur semakin lebar kini.
“Suka?”
“Suka. Terimakasih…”
Bibir mungil Laskar masih tersisa untuk mengucap sesuatu, tatapan matanya yang beradu dengan mata Timur, membuat Timru segera tahu artinya. Lembut dia menyambung kalimat Laskar.
“Daddy sayang…”
Laskar mengangguk, menatap 2 Spiderman yang juga ada dalam pangkuan Timur. Pelan mengucap, “Daddy…”
Nada Laskar yang masih sedikit cadel membuat Timur tertawa kecil. Apalagi Laskar memanggilnya dengan sebutan yang diinginkannya. Hari-hari berikutnya sudah terasa lebih mudah untuknya kini. Separuh peluang sudah dalam genggaman Timur.
“Oya. Mama ada sayang?”
Pipin yang sedari tadi duduk di ubin teras menyahut karena diapun sudah sedikit mencair dari rasa cemas dan takutnya.
“Bapak cari mbak Jora?”
“Iya. Ada kan?”
“Anu pak, mbak Jora sedang keluar.”
Sedikit kecewa, namun tetap mencoba tersenyum untuk Laskar yang masih dipangkuannya. Timur tetap mencoba tenang.
“Kira-kira pergi kemana? Dan jam berapa pulangnya?”
“Mbak Jora bilang sampai malam. Bapak siapa ya?”
Timur melihat ke arah wajah penuh tanya Pipin untuk memastikan, lalu menoleh kembali kepada Laskar.
“Bilang sama mama, daddy Timur datang ok?”
Sambil mengucek-ucek rambut ikal Laskar, Timur bangkit dari duduknya meletakkan Laskar di kursi kayu sebelahnya. Dia mulai asyik dengan boneka barunya. Berdiri dan mengambil handphone dari dalam saku celana jeans-nya.
“Telepon mama Akar ,ya ?”
Timur mengangguk sambil mencoba tersenyum menyembunyikan kecewa hatinya senja itu. Tak berapa lama dimatikannya handphone, karena tak ada nada sambung. Selain layanan service operator yang terdengar begitu menyebalkan Timur.
Otaknya segera berpikir dengan cepat lalu menyimpulkan untuk pergi kesuatu tempat yang paling mungkin. Oke!
“Kalau begitu, daddy Timur pulang dulu ya sayang. Salam buat mama.”
Timur berjongkok sambil mencium kening Laskar yang mendongak serius menatapnya. Sepertinya dia begitu ingin Timur menemaninya bermain senja itu. Timur sudah berhasil merebut hati Laskar. Dia sengaja mengulang-ulang kata daddy didepan namanya, agar anak cerdas ini mematri namanya di otak kecilnya yang masih bersih itu.


BERTEMU ELANG LAUT

Setelah memastikan revolver caliber 6.5 mili terkunci dengan baik lalu menyelipkan ke dalam sarungnya yang tersilang di dadanya, Timur terus mencoba menelpon Jora. Namun tetap saja tak bisa tersambung. Di luar service area.
Begitu keluar dari dalam kamar, Edo telah menyambutnya. Dia tahu sang juragan sedang memikirkan sesuatu yang sangat mendesak. Dia sudah memahami ritme sang juragan setelah menjadi pengawal khususnya beberapa tahun ini di Jakarta
“Ikut saya!”
“Siap pak!”
Kembali adrenalin Timur terpicu secepat laju mobil yang diinginkannya segera tiba di Bulungan. Telepon dari mbak Lini yang menanyakan apakah dia akan datang pada pementasan Laut, dijawabnya dingin dengan mengatakan masih ada meeting, dan tidak berani menjanjikan untuk hadir padahal dia sedang meluncur ke arah Bulungan yang tidak seberapa jauh dari hotel itu. Timur menyadari kalau dirinya kerap terjebak pada kebohongan kecil tapi khusus untuk satu hal ini saja. Tapi dalam hal lain dia selalu jujur dan terbuka. Ah, sekedar warna-warni kehidupan pikirnya. Yang tidak mungkin putih seluruhnya atau hitam semuanya.
Malam itu nampak sepanjang jalan Bulungan hingga Warung Apresiasi Bulungan, beberapa pamflet launching Elang Laut presents album musikalisasi puisi buku Padma Kejora.
Ada kilatan khusus dimatanya apabila ada yang berkaitan dengan Laut kembarannya. Sekilas saja dia membaca tentang Laut di sepanjang jalan itu karena akan memerihkan matanya bila lebih lama. Ada senyum sinis sedikit tersungging dalam diamnya yang mengeras yang tak pernah ada dalam pikirannya untuk telusuri tempat itu sebelumnya.
“Tunggu sebentar.”
Timur mantap membuka pintu mobil, berjalan menuju gerbang pementasan acara Laut, setelah Edo memarkir mobil di depan SMU 70 Bulungan.
Tanpa mau mengisi buku tamu, dia masuk begitu saja menyelip diantara para audiens, seniman dan para pecinta sastra dan pers. Acara begitu meriah dan padat pengunjung. Penuh teriakan more more dari para penikmat tampilan Laut dengan laskar sanggarnya.
Pandangannya melesat kemana-mana mencari sosok Jora, namun tiada jua dia temukan. Sedikit memicingkan matanya, melirik ke atas panggung ketika sang pembawa acara mempersilakan Laut maju ke atas panggung, talk show dimulai. Serentak pasukan wartawan maju ke bibir panggung.
Setelah matanya lelah melihat kesana-kemari tapi tak tampak olehnya bayangan Jora sedikitpun, dia segera keluar dari ruangan berjalan cepat menuju mobil. Memerintah Edo segera melaju, pergi dari tempat yang menyebalkannya itu.
Kedatangan singkatnya di Jakarta, yang diharapkan memberi kejutan penuh yang menyenangkan, malah menghadirkan kejutan akhir diluar duga yang sama sekali tidak menyenangkan dirinya.
“Hubungi capten John, saya mau flight ke Timika jam 11 nanti! Kita balik ke hotel cek out!”
“Siap pak!”
Edo tanpa banyak tanya segera menghubungi capten John, pilot air fast, pesawat pribadi Timur dari perusahaan, yang akan membawa terbang sang juragan kembali ke habitatnya. Bumi Papua! Kalau mau jujur, sebenarnya dia belum benar-benar siap menerima jawaban buruk atas kedatangannya, meminang cinta Jora! Baginya sudah cukup keberaniannya kali ini untuk memulai sebuah perjuangan yang dulu pernah kandas, tersisih karena Jora jalan dengan Laut lalu menikah dengan Abi! Dia tak pernah terpilih. Bad! No way!


JEJAK SANG TIMUR

”Lelah aku dengan kembara cinta..capek! Kita akhiri semua cerita cyber ini. Terima kasih atas persinggahanmu pada pelabuhan rentaku…aku tak lebih hanya sepenggal sepimu yang hilang, sosok bayang yang merasa ada ketika tak ada rindang bersemayam dalam masamu.”
Tak berapa lama, terdengar My in Mortal-nya Evanescence, sms masuk ke dalam handphone-nya, yang tergeletak di sisi kanan Laskar. Lalu diambilnya dengan lesu, dibacanya SMS paling atas inbox, tertera nama Elang Timur, menjawab sms tajamnya barusan.
”Plok…plok..plok.. bagus… bagus… bagus! Kejora memang seorang penulis hebat merangkai kata dengan imajinasi-imajinasinya, lalu dibuat alur dan kesimpulan. Sampai-sampai pembaca hanyut dibuatnya. Kehebatanmu menyimpulkan alur, tidak berarti kehebatanmu menerka dan menyimpulkan hati dan perasaanku. Jora salah besar. Aku penuh kejutan, penuh misteri, sukar ditebak, dan nggak mau diatur. Apalagi didikte, tapi jujur aku sangat mencintaimu.”
Segera Jora membalas sms itu dengan gusar. Dan bersahut-sahutlah sms-sms mereka dalam melagukan emosi, ego hati yang mulai saling terusik.
”Kamu tidak komitmen tentang hubungan kita. Katamu kita jalan bersama, setiap saat bisa saling menyapa, tapi nyatanya kita jalan sendiri-sendiri. Aku tak pernah merasakan ada kamu di sisiku! Sibuk dengan riset? I don’t care! You are an ice man, loner! No more!”
”Harusnya seorang Jora bisa melihatku sejak awal. Aku memang cool. Ekspresi tak menggelora, tak bergejolak, juga tak menggebu. Aku tetap dengan satu komitmen meski tanpa warta, tanpa suara. Kalau hati sudah bertaut kenapa risau? Tak lari gunung dikejar. Gundah dan risaumu adalah ciptaanmu sendiri.”
”Lupakan aku dan kupu-kupu saljuku! Karena aku hanya setetes embun di lelah persinggahan hausmu sesaat!”
”Jangan jadi penyair tolol, pujangga cengeng. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. Tapi hancur luluh merana karena syair-syair yang dikarang dan ditulisnya sendiri…”
”Aku hanya penulis. Bukan pujangga. Tak usah kau singgahi kami kembali. Kepedulianmu hanya semu saat kosong bersemayam dalam rindang pohonmu!”
”Kepedulian abadi tak harus diurai dengan kata-kata. Tapi dengan upaya nyata. Aku datang. Aku menyetubuhimu, aku berbagi rejeki, aku memikirkan solusi…”
”Akhirnya seorang Elang Timur terusik juga?! Apa yang membuatmu tiba-tiba peduli menjawab semua gejolak tanyaku malam ini?!”
”Kenapa aku terusik? Karena ceritanya sudah pada episode puncak. Episode perpisahan. Aku nggak akan mau!”
Jora nampak kesal dengan pertengkaran mereka malam itu. Walau demikian, kekakuan lelaki yang sering menyebalkannya itu tetap punya nilai tersendiri yang tak bisa dipungkirinya begitu saja. Lelaki arogan namun elegan karena terkesan kuat sanggup membuktikan suatu eksistensi tanpa harus membangun banyak gudang kata.
Jora lalu mematikan handphone-nya, memeluk pangeran kecilnya yang mulai terusik dengan desah emosinya. Kembali hati Jora bimbang dengan pilihannya kali ini.
Kembali terngiang nasehat ibunya beberapa hari yang lalu, ketika datang menjenguk Laskar yang sedang sakit demam.
”Sudah saatnya Laskar punya figur ayah yang sesungguhnya. Menurut ibu, lebih baik Timur daripada Laut buat dia Jora…”
Sambil memeras sapu tangan kecil dan mengompreskannya ke kening Laskar, Jora menghela nafas panjang, lalu menjawab pertanyaan sang ibu yang sudah terlalu sering dilontarkan lewat telepon atau SMS kepadanya.
”Bu, cinta saya masih berat buat Laut. Timur kaku orangnya, posesif, pencemburu sekali. Saya takut kami sulit beradaptasi. Saya masih belum bisa mencintainya dengan sungguh bu…”
”Maafkan Jora kalau ibu terkesan mendiktemu lagi. Ibu tahu, Laut mungkin masih cinta sejatimu yang datang kembali pada saat yang tepat. Saat Laskar rindu belaian seorang ayah. Dan kamu, merasa menemukan kembali cintamu yang hilang. Ketahuilah, kenyamanan bisa dibentuk apabila kita diguyur cinta yang tulus dan dari orang yang bisa membuktikan cintanya dari tindakannya.”
Ada nada menyindir Laut dalam kalimat sang ibu. Jora melihat wajah tua sang ibu yang begitu menyiratkan sebuah penyesalan besar karena dulu menjodohkannya dengan Abi. Ibunya lebih berhati-hati sekarang dalam bertutur, takut melukai hati Jora. Hanya karena dorongan kasih tulus seorang ibulah maka dia memberanikan diri untuk menawarkan opsi yang terbaik, berdasarkan pengalaman hidup yang telah membelajarkan banyak hal buatnya selama ini. Berharap sangat bahwa kali ini sarannya tepat untuk buah hatinya.


SECAWAN ANGGUR HATI

Plin plan, labil dan mulai tanpa arah lagi langkahnya. Ngawur kata Mawar. Semalam Jora telah mengirim sebuah email kepada Laut yang bernada sensual sekedar untuk memancing kelelakian Laut. Kini dia ingin mengetahui lebih pasti hati dan pikiran orang yang katanya dari dulu hingga detik ini tak berubah terhadapnya. Bukankah Jora sudah berubah? Dulu gadis penuh pesona alami, sekarang Jora dengan laskar rahim tunggalnya.

Setiap hurufmu membuat kelelakianku berontak. Semakin sering aku seperti banci bila tidak menunaikannya. Tapi biarlah mungkin kau akan pahami
Kalau kau tahu gejolak birahi cintaku akan kutuangkan hasrat di garba kehangatanmu. Cairan-cairan tumpah, senyum meruah, puasi dahaga kita. Ingin kubelit ragamu. Aroma tubuhmu yang tengah mengeluarkan cairan sudah merebak.

Ku ingin nikmat indah yang terkenang, bukan enak lelah yang tinggal. Ku ingin bercinta sehalus kamasutera, yang bisa jadi legenda sepanjang masa dalam kisah kita.
Jora, sex in love is the great part of our life. Bayangin bayangkan bayangilah rasanya semua beban semua belenggu sirna seketika klimaks. Anggap kita lagi melalui fase foreplay kini. Menuju extase ejaculation. The best sex. Extrem in eternity. Wild in clarity. Soul in satisfy.
Jora memandang keluar dari jendela yang sudah dibuka sejak tadi usai sholat Subuh oleh Pipin. Menghirup sedikit udara pagi segar yang memancar dari bunga dan tanaman perdu yang ditanamnya beberapa waktu lalu di pekarangan samping rumah mungil itu yang tersisa hanya 2 meter memanjang dari pekarangan depan. Sekarang itu menjadi tempat favorit baginya untuk menulis menuang inspirasi yang memenuhi otaknya. Dongakkan kepalanya sejenak untuk menangkap makna yang tersirat dalam email tersebut.

Mohonku kepada getaran, rasuki jiwaku untuk terus bertunas menjadi pohon-pohon kembara yang gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh.
Persembahan secawan anggur hati, tlah menyingkap gaun tidurku. Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya, hingga sapa matahari menghangatkan sunyi tubuhku, lalu baru terjawab pesanmu rajawali.
Kelam terrenda temaram kabut masa…
Aku masih sabit yang terpenggal, yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi. Karena singgahku tak pernah termiliki siapapun kecuali Kupu-Kupu Saljuku. Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun, entah kapan dan dimana.
Sosok bayang yang mulai kembali melukisi dinding nurani adalah Elang Laut dan Elang Timur, kembali sabit itu menggugat berita dari langit. Begitu mendamba meski kadang sesat dan sesaat.
Lalu diklik-nya send mail.
Pandangannya nanar menatap layar notebook-nya. Namun tak lebih dari tiga puluh menit berikutnya..buzz.! Nampak di sudut kanan bawah layar notebook-nya, tulisan received 2 new email from elangtimur@yahoo.com dan elanglaut@yahoo.com. Diklik-nya tulisan itu…dibacanya email dari Timur. ”Aku juga telah lelah mengepak sayap untuk meronce cinta. Kepak sayapku hanya untuk mencari bekal, untuk menata sarang memenuhinya dengan kelayakan hidup bagi elang kecil dan induknya. Sayapku sudah hampir patah, tapi aku harus mengepak 1 tahun lagi. Aku begitu berharap semoga ada matahari buat cintaku yang kurawat buatmu selama 9 tahun ini. Aku memang elang yang menjadi robot, yang kadang tak punya rasa lagi..namun semoga kau bintangku sadar kenapa aku seperti ini…aku ingin menjumput cintaku yang masih tercecer, yang dulu tak bisa terpungut…” Tak dijawabnya email Timur, kemudian dibukanya email dari Laut. Dengan sedikit heran begitu cepat email-nya terbalas.
“Cepat sekali kau balas La..ya ya..”

Namun keterbukaanmu di pagi yang serta merta jadi gerah ini entah apa yang ingin kau torehkan untuk cerita kita selanjutnya. Keterbukaanmu pada paragraph terakhir email yang baru kau kirimkan(cobalah baca lagi dari surat terkirimmu!), seperti membuka sebuah front baru lagi dengan orang yang selalu kuhindari sejak dulu untuk terjadi, karena hormat persaudaraanku dengannya yang terus coba kugenggam sampai saat ini.
Apakah lelaki yang selalu menginginkan apa yang kuinginkan itu juga masih menyimpan hasratnya untukmu???

LASKAR DENGAN SENJA

”Sepi, ajak Akar terbang dengan jalamu…carikan papaku yang hilang Sepi. Akar ingin digendong, duduk di leher papa seperti kawan-kawan Akar…”
Sejenak, jemari Jora terhenti dari tuts note book-nya, karena kalimat-kalimat pilu yang baru didengarnya, keluar dari bibir mungil Laskar, yang sedang asyik bermain di belakang sofa tempatnya duduk sambil menyelesaikan novel Giok Untuk Didu-nya. Buliran-buliran air dari matanya mulai menetes, melihat Laskar kembali bercakap dengan kawan imajiner-nya, boneka-boneka dan robot-robot Spiderman-nya. Sambil kedua tangan mungilnya memegang kedua tangan boneka spiderman yang hampir sama tingginya dengan dia, Laskar kembali berujar dengan lugunya, pada Sepi, begitu dia sebut tokoh hero-nya.
”Sepi, kapan kamu temukan papaku? Datangkan dia dengan jala-jalamu ya? Kenapa dia pergi nggak pulang-pulang Sepi? Napa? Ya udah...kita terbang dulu berdua melompat gedung ke gunung-gunung yuk…wow…yes! Kita telah sampai gunung Sepi…mungkin papa ada di sini…”
Jora terisak, sesenggukan melihat dan mendengar wawancara imajiner Laskar barusan. Imajinasi bocah lelakinya begitu hebat, makin hari makin tinggi berkembang pesat bagai angin yang terus berusaha mencari ruang untuk menembus cakrawala.
”Nggak sedih hatimu lihat dia seperti itu? Makin hari dia makin pintar, terus mencari miliknya yang hilang.”
Tiba-tiba Mawar yang telah duduk di sampingnya, bicara lirih di telinga kanan Jora, mengagetkannya.
”Duh..mbak ngagetin aku aja. Ya sedihlah mbak. Tapi apakah aku harus bertahan menjadi perempuan bodoh dengan poligami Abi?”
Sambil mengusap air mata dan menekan tombol control s notebook-nya, Jora menghela dalam nafasnya yang begitu terasa menyesakkan dada.
”Bukan dengan menyesali perceraian itu Jora. Nggak usahlah tengok ke belakang. Bicaralah logikamu. Kalaupun kamu kekeh dengan menjadi penulis, its ok! Tapi buat Laskar, terimalah Timur. Setahun bukan waktu yang lama. Yang penting telah ada komitmen diantara kalian. Jangan kamu mencoba beli semua mimpi kamu. Berbagilah dengan Laskar.”
”Mbak…beri aku waktu lagi buat berpikir. Aku sudah pernah gagal. Dan aku nggak mau mengulangi ketololanku di masa lalu…”
”Aku begitu memperhatikan kalian kenapa? Karena aku sayang sekali dengan Laskar. Aku ditakdirkan nggak bisa jadi perempuan sempurna. Sakit memang. Dan aku harus menerima pernikahan kedua mas Anggit. Rasanya tak ada keadilan buatku dari Tuhan…rahim hilang bersama hilangnya suami.”
”Maksud mbak?”
”Sudahlah, cukup kamu yang tahu. Sudah 3 tahun ini, menurut bahasamu, aku dalam sampan madu. Dan dalam kesakitan aku tetap mempertahankan perkawinan semu ini, hanya buat menjaga prestige mas Anggit sebagai Pembantu Rektor, itu aja.”
Jora terdiam, menggigit bibirnya. Nanar dipandanginnya Mawar.
”Maafkan aku mbak…lukamu lebih parah dariku. Aku tak lebih dari seorang perempuan pengeluh..”
”Budheee…”
Tiba-tiba Laskar merajuk, memeluk Mawar. Minta dipangku. Mawar memeluk erat keponakan tunggalnya itu, dan mencium pipinya.
Laskar mengernyitkan dahinya, sambil melihat Jora dan Mawar bergantian, serasa ada yang aneh di mata elangnya.
”Ma…napa budhe nangis?”
Segera Mawar menjawab dan mengucel-ngucel rambut Laskar.
”Yeee..siapa yang nangis sayang? Nggak tuh…”
Laskar dengan tajam menatap mata Mawar. Dan Mawar makin erat memeluk Laskar, lalu seperti biasa, dia mulai mengajari Laskar menyanyi.

PERSETUBUHAN SENJA

Buliran keringat di leher Laut, begitu lembut diusap Jora yang memeluk diam dalam dekap sang kekasih. Di atas ranjang pelaminan kasih yang sebenarnya telah beberapa tahun lalu dipersiapkan Laut untuk percintaan ragawi mereka. Laut duduk bersandar di sandaran ranjang sambil merokok, dan tangan kanannya mengelus lembut rambut Jora yang basah karena keringat birahi mereka senja itu.
Tubuh mereka hanya sebagian tertutup selimut, nampak temaram tersorot lampu dari luar. Siluet indah yang tercipta karena dendangan gundah cinta mereka yang selama ini terjajah tak terjamah sekian lama.
Tiba-tiba handphone Jora berdering. Jora ragu mengangkatnya ketika terbaca calling number Timur. Laut yang hanya meliriknya, segera berujar lugas.
“Timur? Angkat saja.”
Ada nada cemburu yang coba ditepiskan. Jora masih ragu menekan handphone-nya, Laut menatap dingin, seakan sebuah instruksi untuk menekan tombol On . Akhirnya dengan rasa jutaan salah dan tak tahu harus bagaimana kecuali menuruti perintah Laut, Jora mengangkat handphone-nya.
“Ya. Aku di rumah. Laskar dengan mbak Mawar.Ya. Mbak Mawar yang atur semua. Sederhana saja. Di rumah. Ya. Bye.”
Jora mematikan handphone-nya. Menatap Laut yang hanya diam, beku wajahnya, mendinginkan kepanasan otaknya. Lalu Jora memeluknya erat
“Maafkan aku La.”
“Aku yang salah. Dungu dengan semua ini.”
Tiba-tiba terdengar reffrein Still Got The Blues-nya Garry Moore, handphone Laut berdering. Laut segera mengangkat handphone dari atas meja samping ranjang, Jora menatapnya wajah lelaki yang baru membawanya ke surga dunia itu.
Rahangmu begitu kokoh, sekokoh cintamu menurutmu. Namun tidak bagiku. Kamu rapuh.!, bathin Jora.
“Ya mbak. Besok? Jam? Baiklah mbak.”
Raut muka Laut datar tetap dingin, lalu dia mematikan handphone-nya, menaruhnya kembali di atas meja samping kanan ranjang. Ditatapnya Jora.
“Siapa?”
“Mbak Lini. Dia minta besok pagi jam l0 aku datang ke rumah Menteng. Mungkin membicarakan tentang pernikahan kalian. Karena Timur besok pagi datang dari Timika. Ah, mereka tidak tahu apapun jua. Calon pengantin itu tengah bersamaku..”
Dua untaian kalimat terakhir itu digumamkan dengan nada yang satire. Laut kembali terjerambab dalam belitan rasa yang mulai dihindarinya beberapa tahun belakangan. Oh, ternyata dia tidak tahu apa-apa juga tentang cinta, kasih dan penghormatan. Cinta yang diketahuinya memiliki bopeng dalam pemikirannya, mencipratkan kembali bilur di hatinya. Ah, rasa yang bodoh!! Rupanya dia ingin menjadi Malaikat yang tidak akan pernah bisa bersemayam di dirinya.
“Selama ini hubunganmu dengan Timur bagaimana?”
“Sudah pernah kubilang. Dari dulu sifat competitor Timur begitu mendominasi. Meskipun kami hanya kembar fraternal. Sifat kami memang jauh berbeda. Dia selalu merasa bahwa pesaing utamanya adalah aku. Menginginkan apa yang jadi kesukaanku. Kalau perlu merebutnya sekalipun tidak masalah baginya. Tapi aku berusaha tetap menghormatinya sebagai kakak kembarku. Mengalah untuknya hal yang sering terjadi. Kamu tahu itu.”
Jora berdiri dan memakai baju atasannya saja. Laut menatapnya lekat, namun segera dialihkan pandangannya ke arah jendela kamar, dan dia berdiri menutupnya separuh agar udara segar masih bisa memasuki kamar itu, setelah memakai celana jeans yang tergeletak di atas lantai kayu kamar. Lalu dia duduk bersila di atas kursi ukir jeparanya di sudut kamar, setelah menyulut lagi sebatang rokoknya.
Sesaat kegamangannya luluh lantak bersama sensasi nikmat yang direguknya beberapa saat tadi, bersama hisapan dalam rokoknya membuat dirinya merasa, the winner on the back stage.
Namun dalam hitungan menit, kegalauan menyeruak dalam wujud lain dibenaknya sekarang. Dalam sekejap rupa-rupa tanya mengisi benaknya…Benarkah dia pemenang? Hanya di balik layarkah? Ini kemenangan lelaki atas lelaki, kah? Atau kemenangan atas perempuan? Apa saudara kembarnya kelak akan membungkuk hormat atas kemenangannya, yang dengan takdir telah berhasil mendahului sejak awal? Benarkah dia pemenang sesungguhnya? Atau pecundang yang hanya berhasil mengeksplorasi rintihan nikmat perempuannya? Mengalah lagi,kah? Oh, my God!!
Dia berdiri melangkah kembali ke jendela itu lalu benar-benar melempar sisa rokoknya yang masih panjang itu dengan perasaan bercampur aduk.
“Kamu lembut, romantis, begitu dingin.
Dia tegas, mengedepankan logika.”
“Aku tidak tahu, manakah diantara sifat-sifat kami yang lebih unggul. Aku memilih kuliah di sastra. Padahal aku juga diterima di fakultas yang sama dengan dia. Dengan harapan hubungan kami jadi membaik. Namun makin memburuk setelah dulu dia tahu hubungan kita.”
“Saat inipun aku tetap memilihmu.”
Ya hatimu pasti buatku tapi nalarmu memilih dia, gumam Laut yang tak terdengar oleh gigi terdepannya sekalipun. Dia lebih merasa seperti idiot kini daripada pemenang. Kata-katanya meluncur hampa.
“Hanya melalui mbak Lini aku tahu kabarnya. Diapun begitu. Sering menanyakan kabarku melalui mbak Lini. Semenjak kita jalan, lalu kamu menikah dengan Abi. Hubunganku dengan dia vakum. Ketemu di rumah mbak Lini pun kami hanya say hello. Ah, sudahlah. Semoga kamu bahagia dengan dia. Setelah kalian menikah, bumikan aku, aku harus hilang dari semua sisi pandangmu.”

PAGI DUA ELANG

Kursi panjang berukir Jepara itu, nampak begitu sempit dan tak nyaman untuk diduduki Laut yang meski tenang mengepulkan asap rokoknya, namun tetap semburat galau wajahnya yang memerah, jujur meratapi nafas berat Lini yang nampak serius menatapnya bergantian dengan Timur yang juga nampak begitu gusar mengeluarkan asap dari rokok kretek ketiga yang dihisapnya.
“Kalian sudah sama-sama dewasa. Untuk itulah Mbak mengajak semua agar kumpul disini untuk membicarakan satu hal. Menyangkut rencana pernikahan Timur. Dia sudah memilih siapa yang akan jadi pendamping hidupnya. La, kamu pun sudah tahu siapa yang akan jadi calon istri Timur. Jora…”
Suasana begitu hening, semua beradu tatap dengan petak-petak ubin, membisu, diam. Walau demikian dada Laut bergemuruh saat nama Jora disebut oleh Lini. Walaupun juga dia sudah tahu agenda musyawarah keluarganya kali ini. Keringat tipis nampak di dahinya meski udara ruangan itu cukup sejuk. Detakan jam dinding jati yang telah puluhan tahun setia pada dinding rumah kuno itu seakan memastikan, hitungan mundur hari pernikahan Timur dan Jora semakin dekat. Woko berlagak sedikit penuh wibawa, mencoba mencairkan kebekuan suasana pagi yang terasa kian terik dan menggerahkan tubuh Laut. Punggung belakang kemeja jeans - nya mulai lembab oleh keringat kemarahan yang begitu kuat dia tekan.
“Saran kami, segeralah menyusul La. Mengingat usiamu yang cukup matang. Bahkan kalau perlu tahun ini juga. Bukankah menurut mbak mu banyak gadis yang menyukai buku-bukumu artinya mereka begitu memujamu sebagai pujangga idola, seperti…”
Laut segera menyela dengan intonasi yang sedikit tinggi, yang terusik karena topik pembicaraan yang bergeser.
“Sebaiknya kita matangkan pembicaraan tentang rencana pernikahan Timur yang sudah segera. Bukankah kita berkumpul disini untuk itu? Tentang saya mas, mbak..jangan risaukan. Kalau sudah ada jodoh toh juga akan menikah. Tenang saja.”
Lalu dia berdiri dan menoleh ke arah Timur yang terlihat tenang dan berwajah riang merasa menang. Dengan senyum getir yang disamarkan, Laut mengulurkan tangannya pada Timur.
“Selamat.”
“Hmm..terima kasih.”
Laut memandang sejenak kembaran fraternal-nya kemudian berpaling tanpa memperdulikan senyum jumawa Timur, yang kali ini benar-benar mulai merasa memenangkan pertempuran paling penting dengan kembarannya. Laut menjabat dan mencium tangan Lini, setelah sebelumnya menjabat tangan Woko yang masih duduk termangu, entah apa yang dipikirkannya.
“Saya pamit dulu. Ada jadwal latihan di sanggar.”
Kembali Laut harus menyerahkan ruang bahagia yang sangat penting untuk jiwanya demi sang kakak kembar. Apakah ini sisi bijak? Mengalah atau kalah!?
“Makan dulu La.”
“Terima kasih mbak. Saya sudah ditunggu anak-anak. Assalamualaikum.”
Bergegas Laut keluar ruangan dengan luka yang disayatnya sendiri. Distarter nya mobil double cabin hitamnya, dan dijalankan dengan sedikit kencang walaupun kondisi jalan Diponegoro bilangan Menteng itu sedikit padat. Beberapa mobil yang disalipnya membunyikan klakson karena dia menyalip di jalur yang sempit. Ah,masa bodoh! Image-nya sebagai lelaki yang tenang, dingin dan sabar kadang harus meluap pada kondisi semacam ini.
Dia lalu berfikir cepat dan merenung cepat kebiasaannya,untuk memulihkan energinya segera dalam kondisi underpreasure. Dia melihat, ini akan jadi kebodohan keduanya untuk kebahagiaan orang-orang yang dikasihinya, Jora dan Timur kakak kembar yang tak pernah bisa mengalah dengannya. That’s shit! Hmm, Nevermind…nevermind, ini Laut! Begitu selalu ucapan malaikat di hatinya yang sering membantunya membunuh egonya sebagai lelaki normal yang punya akal. Dia mencari alasan-alasan yang membenarkan sikap mengalahnya. Tidak mudah baginya untuk menemukan pembenaran kini karena dia berhadapan dengan ego nya.
Makna cinta sebagai Kasih dengan Penghormatan, yang akan dibingkai sebagai lajur hidupnya kembali berhadapan dengan sensasi rasa cinta yang selama ini sangat dibencinya, dan ini menimpanya..Kehilangan!
Disisi lain dia menghadapi egonya, yang ingin memiliki Jora sebagai teman hidupnya. Ah, ini bisa diatasinya dengan mengatakan..biarlah,untuk orang-orang yang kukasihi sebagai sembahan agung. Bestari sekali sang laksamana Laut!
Ladang hatinya mulai kerontang kini dan nanti, karena rasa kehilangan yang mulai merayapi sekujur tubuhnya. Dia mulai digerayangi salah satu sisi cinta yang sering dikatakan semua orang, ya kehilangan orang yang dikasihi. Kehilangan, berarti luka!
Sesuatu yang tidak disukainya kini menjalari jasad bathinnya. Sesuatu yang ingin dilampauinya untuk memijak langit yang lebih tinggi, ternyata masih memagut egonya.
Oh, cinta! I will leave you! Ternyata engkau masih menggangguku, benak Laut. Engkau lebih banyak bilur nestapa daripada bahagianya, Laut tahu itu! Enyahlah..
Tembang lawas dari Nazareth, Love Hurt.. terdengar dari station radio The Rock FM yg turn on dari mobilnya. Bertubi-tubi sisi gelap cinta akan meluruhkannya dengan cukup sempurna.
“ Aku harus keluar, Laut tidak akan bergolak hanya karena sebuah TITANIC tenggelam.”
Kalimat bathinnya itu sedikit mensugesti dirinya untuk tidak larut jauh, setidaknya sampai saat ini kekuatan mental Laut masih mampu menghadapi detik-detik menuju badai kedua itu, yang entah masih tangguh tidak bergolak bila berjuta Titanic tenggelam serentak ke dasar samudera hatinya yang luas dan dalam.


KEMBARA TANPA DUGA

Kemilau bulan yang membias masuk melalui jendela di ruang tengah yang luas terbuka, mengusik pandang Timur, melihat siluet tubuh Jora yang hanya dalam balutan gaun tidur berbahan silk, berwarna hijau lumut.
Dihampirinya Jora, lalu dia cium kening wanitanya itu, sebelum dia duduk dan menyulut rokok kretek sambil memainkan korek zippo berbentuk pistol.
“Nulis novel?”
“Bukan. Artikel feminis buat majalah Venus. Setiap bulan ada beberapa kolom yang harus aku isi. Novel masih stop dulu, sampai aku benar-benar bisa mendapat ruhnya lagi.”
“Memang kemana ruh novel barumu?”
Jora menghentikan ketukan jemari pada tuts notebook-nya, menyimpan file, melepas kacamata, dan menatap Timur sekilas, lalu menyandarkan tubuhnya pada Timur, yang menyambutnya dengan rengkuhan hangat.
“Ruh itu telah ada sayang. Bahkan dia sudah menjalari tubuhku. Tinggal tunggu saat yang tepat untuk meniupnya dan mengeluarkannya”
“Oh ya? Dia sudah ada?”
Jora membalikkan tubuhnya ke arah Timur, mereka saling menatap. Jora membisikkan dengan lembut curahan bahagia kehamilannya, sambil melekatkan tangan kiri Timur ke atas perutnya.
“Dia ada di sini daddy.”
Timur kaget, segera menarik tangannya, Lekat menatap Jora.
“Maksud nanny?”
“Aku hamil anakmu dad.”
Raut Timur memerah, makin membara terkena kemilau bulan, menyemburat keluar, membuat ruangan terlihat seperti terbakar karena auranya.
“Tidak mungkin. Itu tidak mungkin.”
“Benar sayang, tadi pagi aku tes positif. Sebentar!”
Jora berdiri akan mengambil test pack, namun segera tangan Timur menahannya. Wajah Timur serius menatap Jora yang keheranan.
“Kenapa dad? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilan ini.”
Timur menggelengkan kepalanya.
“Nggak mungkin!”
Nada bicaranya mulai keras. Jora makin bingung.
“Maksudmu?”
Timur berdiri, mematikan rokok dan tajam menatap Jora.
“Itu bukan anakku!”
“Bicara apa kamu dad?”
Galau Timur meremas kuat kedua jemari tangan Jora, lalu dengan gusar mengajaknya masuk ke dalam kamar.
“Ikut aku!”
Jora mati kata mengikuti langkah Timur yang begitu kasar membuka lemari. Mengambil sebuah amplop dari tas koper kecil miliknya, yang selama ini menyimpan semua dokumen pribadinya, dan Jora memang tak akan membukanya, tanpa seijin Timur, sesuai permintaan Timur selama ini.
Timur memberikan amplop putih tsb. kepada Jora, lalu membuka jendela kamar, menghirup udara malam untuk menyegarkan dadanya yang sesak dan panas.
Jora dengan ribuan tanya menggelayuti pikirannya, segera membuka amplop, membaca surat yang ada di dalamnya. Nampak sebuah surat keterangan dari lab obgyn.
Jora mencoba mencerna tulisan – tulisan yang masih sulit terbaca dari kertas itu.
Tubuhnya tiba-tiba terasa begitu kaku, tanpa daya melangkah, kakinya terasa tertanam kuat di lantai marmer kamar, nadinya terasa terhenti seketika setelah dia mulai meraba apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa artinya ini dad?”
“Im immature.”
“Mean?”
“Infertile!”
Sambil kuat-kuat mengeluarkan kepulan asap yang terlihat begitu hitam karena jelaga hatinya yang telah tertoreh malam itu, Timur nampak gusar, kecewa, sakit, terluka, perih dan begitu pedih menerima kenyataan Jora hamil bukan karenanya.
“Dad…”
“Itu salah satu dasarku ingin menikahimu sekaligus bisa memiliki Laskar. Disamping cintaku begitu kuat ke kamu.”
“Jadi..”
“Jadi dia jelas bukan anakku.”
Jora menunduk ingin segera terjatuh dan tak ingat apa-apa, karena malam itu dia benar-benar tak bisa berpikir apapun. Otaknya error, kacau tak tentu sinyal syarafnya. Timur masih tetap menghirup udara malam dalam-dalam, dan makin kuat memegang bingkai tembok dengan kedua tangan yang terkepal.
“Maaf aku tidak mengatakan sejak awal tentang kondisiku. Karena aku berharap aku masih bisa normal kembali. Namun harapanku pupus. Seminggu yang lalu hasil lab masih positif I am infertile. Surat itu!”
Jora tak kuasa menangis, memeluk Timur dari belakang. Dia tahu apa yang terjadi. Sebuah kefatalan khilafnya.
“Maafkan aku.”
Timur tetap bergeming diam, menatap langit yang telah menyembunyikan bulan. Begitu pekat terlihat, seperti hatinya malam itu, gelap, hitam legam.
“Benih itu milik Laut?”
Jora kembali mati kata, hanya tetesan air mata yang makin deras membanjiri punggung Timur. Lalu Timur berbalik, kuat kedua tangannya memegang kedua pundak Jora yang tak kuasa menatapnya.
“Benar kamu mengandung anak Laut?”
Timur mengguncang-ngguncang tubuh Jora. Jora makin menangisi kedunguannya atau kealpaan atau kepahitan atau apa namanya, dia tak bisa menjawab pertanyaan yang selama ini dibuatnya sendiri.
“Jawab Jora! Tatap aku!”
Timur makin kasar dan gusar dengan tangisan Jora yang makin menjadi, meski tanpa suara, namun buliran air dari matanya makin deras mengaliri kebisuan hatinya. Timur mengangkat wajah Jora, erat tangannya menekan kedua pipi Jora yang nampak berkilau karena basah.
Liar tatapan Timur menampakkan keegoisannya. Menuntut!
“Jawab jujur Jora! Itu anak Laut?!”
“Ya! Kau bisa ceraikan aku! Maaf!”
Makin kuat tangan Timur menekan kedua pipi Jora yang berusaha melepasnya, namun Timur makin geram, liar seperti harimau yang kelaparan, tidak makan belasan bulan.
“Kamu masih mencintainya?”
“Dulu! Sekarang untukmu..”
Suara parau Jora membuat Timur melepas cengkeraman jarinya pada kedua pipi Jora.
Daaaagk! Dia memukul kuat dinding tembok di sisi kanannya, hingga jemari tangan kanannya berdarah. Jora menjerit dan segera menahannya. Timur gusar melepas tangan yang dipegang Jora. Kembali liar menatap Jora dengan ribuan cambuk amarah yang melukai kelelakiannya, mencabik hatinya.
“Mengapa kamu mau menikah denganku?!”
“Karena kamu lebih mempunyai nyali untuk menikahiku.”
Timur sinis menatapnya, Jora menguatkan diri melawan tatapannya. Timur kembali mengepalkan tangan dan akan memukul tembok, namun Jora memegangnya kuat, dihadapinya lelaki yang telah disakitinya itu. Matipun rasanya tak apa, karena dia merasa telah menghunuskan belati tajam pada putih hati lelaki yang begitu mencintai dan mengasihinya itu.
“Laut menang! Hatimu tak pernah bisa kumiliki!”
Segera Timur melepas pegangan tangan Jora. Berjalan ke arah brankas, membukanya, mengambil revolver caliber 6.5 mili, menyelipkan ke pinggangnya, dan mengambil kunci mobil dari atas meja rias, lalu bergegas keluar dari kamar.
“Daddy! Apa yang akan kau lakukan?”
Jora ketakutan menghiba, memegang kuat lengan kanan Timur.
“Daddy, pls! Jangan bunuh dia! Bunuh nanny saja! Ini salah nanny!”
Tanpa menghiraukan jawaban Jora, dan melepas dengan kuat pegangan tanga Jora, Timur makin geram, bergegas keluar dari dalam kamar.
“Daddy! Tunggu!”
Jora menyusulnya keluar, mencoba mencegah kembali keliaran Timur, namun yang dia dapat hanya desingan kuat roda mobil gagah Timur yang keluar dari garasi dan melesat cepat keluar dari halaman rumah. Pipin nampak sedih dan takut menatap Jora sambil menutup pagar dengan pelan-pelan. Perseteruan belum berakhir…



MALAM PENGINGKARAN

Laju mobil Hummer hitam H3, mobil ke 9 yang terbeli di Indonesia itu makin melesat jauh, kencang merunut jalan menuju sanggar Laut. Simbol kejantanan sang ilmuwan yang merasa dipecundangi dan dianggap tidak pernah ada. Tercabik belati yang tersembunyi di balik sayap cintanya. Kelelakiannya terusik.
Mobil lelaki itu memasuki rerimbunan taman depan sanggar Laut, tanpa basa basi melibas rerumputan dan jalan setapak yang tertata rapi. Timur segera turun, melangkah cepat, setengah melompat untuk segera menangkap Laut, memperhitungkan semua kehancuran hatinya. Pintu berukir bunga padma itu dia ketuk dengan keras-keras, berulang-ulang tanpa jeda yang jelas. Nampak mang Diman dengan heran membukakannya.
“Laut ada?!” ujarnya tegas melunturkan rasa sopan terhadap lelaki tua itu.
Tanpa menunggu jawaban dari mang Diman, Timur masuk dengan hunusan tajam amarah. Mang Diman segera menyusulnya.
“Panggil dia mang!”
“Ya mas, tunggu sebentar.”
Timur berjalan masuk ke ruang tengah. Melihat buku-buku Laut. Mengambil buku Padma Kejora. Membacanya sekilas. Tak berapa lama Laut berjalan menghampirinya. Berdiri di samping kirinya, melirik buku yang dibaca Timur.
“Ada apa Tim?”
Timur mendengus keras, mendekatkan tubuhnya ke Laut, membuang dengan kasar buku Padma Kejora ke lantai. Laut dengan gusar mengambil buku itu. Membalas tajam tatapan kalap Timur.
“Sebuah buku yang bagus. Syair yang begitu indah buat istriku Mahakejora. Heh, ungkapan cinta sejati.”
“Dia sudah menjadi milikmu.”
Timur tersenyum getir, makin mendekatkan tubuhnya ke Laut.
Dia menghembuskan kepenatan hatinya lewat kepulan asap tebal dan panjang rokoknya.
“Hanya tubuhnya yang bisa kumiliki. Hatinya tidak kumiliki.”
“Ambil hatinya. Bukankah engkau suaminya?”
Terdengar datar saja kalimat Laut yang malah tidak meredakan Timur. Tidak ada celah bagi Laut untuk membela diri. Kalimat-kalimat sakti yang selalu bisa menyihir banyak orang tidak akan berarti apapun untuk Timur dari dulu hingga saat ini.
“Artinya aku harus membunuhnya lalu mengambil jantungnya, begitu?”
Laut membusungkan dadanya, menyentuh krah kaos Timur. Mata mereka kuat beradu seteru.
“Sebodoh itukah?! Bukankah engkau seorang pemenang yang mestinya tahu bagaimana memenangkan sebuah pertarungan?”
Timur mulai gusar, menghempaskan sisa rokok ditangannya.
“Pecundang yang tolol! Kamu berpura-pura mengalah untuk mengalahkanku!”
Mendengar ejekan Timur, darah Laut mulai menggelegak. Mereka sama-sama saling mendekat, Laut mendongakan sedikit dagunya yang berusaha dihindarinya selama ini. Semarah apapun dia terhadap Timur dia masih bisa berlaku santun. Tapi tidak untuk kali ini!
“Aku sudah pergi dari kalian. Kemenangan sudah kuberikan padamu. Apa yang kau mau?!”
Tubuh mereka yang makin dekat, mulai bergeser ke samping meja.
“Pembohong! Kamu tidak pernah pergi darinya!”
Timur menyentakkan tangan dengan kuat ke arah dada Laut, yang segera dengan cepat mengelak dengan menggeser sedikit badannya. Rupanya dia sudah menangkap kemungkinan, kalau mereka kini akan bertempur secara fisik.
Refleks masih berfungsi menghadapi kemungkinan buruk. Kini mereka berada pada puncak kemarahan, yang mereka yakini bahwa mereka telah dikalahkan oleh satu dengan yang lain.
Mereka benar-benar bertarung yang selama ini tak pernah mereka lakukan, bergelut, menendang dan menghantam dengan tenaga penuh amarah. Seluruh benda yang ada disanggar itu porak poranda dijadikan alat untuk menghantam lawan. Siapa yang memiliki stamina lebih baik yang akan menang karena mereka setara dalam fisik. Karena faktor kesehatan Timur yang melemah akibat kontaminsi sedikit demi sedikit di dalam laboratorium risetnya, membuatnya mulai kehilangan tenaga. Laut yang masih memiliki tenaga, melihat peluang. Makin menekan, mendorong tubuh Timur hingga limbung menabrak meja.
Dan daaagk! Revolver caliber 6.5 mili itu terjatuh dari pinggang kanan Timur, meluncur ke lantai kayu, berhenti karena tertahan kaki meja.
Mata elang Laut menjadi makin kalap melihat senjata api itu.
“Oh kamu mau bunuh aku!”
Dengan sekuat daya berlumur kemarahan, dia hantamkan kaki kanannya ke arah perut Timur yang langsung membuatnya terjengkang ke lantai.
Seluruh tubuhnya terasa sakit dan dia tidak bisa mengangkat badannya kembali. Hatinya jadi perih, bayang-bayang kekalahan sudah nyaris di depan mata dan pandangannya kabur karena hentakan tubuhnya pada lantai sangat keras.
Peluang yang tidak boleh disia-siakan! Dengan geram Laut maju menerkam menghimpit dada Timur dengan kedua pahanya, mengangkat kerah baju Timur sambil tangan kanannya siap menghajar wajah Timur dengan sekeras-kerasnya. Tuntaskan amarahnya kini sepuas-puasnya. Sekilas dalam kegelapan matanya, wajah Timur masih tampak jelas, menatap pasrah Laut karena posisi tubuh yang terkunci dan rasa sakit yang tidak bisa membuatnya berbuat apa-apa.
“Bunuh aku! Ayo, bunuh! Agar kamu bisa ambil dia dan anakmu!”
Kilatan mata Laut yang sangat tajam menyala-nyala yang ingin menuntaskan perseteruan mereka setuntas-tuntasnya saat itu juga, sirna seketika.
Kesadaran berbalut amarahnya berangsur-angsur pulih, saat matanya beradu dengan Timur, saudara kembar sedarahnya. Kebenciannya luruh seketika itu, dia terus menatap wajah Timur dan matanya jadi sedikit berkaca-kaca. Setan amarah yang jadi supporter-nya bermuram durja melihat kesedihan yang mulai memancar diwajah Laut. Yang nyaris dalam sepersekian detik berhasil menjerumuskan Laut untuk menghancurkan saudara kembarnya, yang bagaimanapun selama ini selalu berusaha dihormatinya.
Laut mengangkat kedua kakinya dari dada Timur menyisi disebelahnya. Mengangkat tubuh Timur untuk disandarkan ke dinding, dan diapun disergap kelelahan yang sangat sehingga kakinya tak sanggup menopang bobot tubuhnya.
Diapun akhirnya menyandarkan tubuh ke dinding sanggar. Bersisian Timur dan Laut dalam kelelahan, sakit dan perasaan yang sulit diuraikan. Keheningan meliputi seluruh ruang itu kini, yang gaduh dan porak poranda sebelumnya.
“Dia mengandung anakmu.”
Laut yang baru saja mengusap wajahnya yang terasa gerah, panas karena kobaran api setan yang merajalela di urat-urat nadi nuraninya yang perlahan mencair, kembali terkesiap dan tercekat!
“Ya Tuhan!”
“You won this game brother.”
“Lalu?”
Timur mengambil rokoknya yang berserakan di lantai,menyulutnya. Menjangkau dengan susah payah sekaleng minuman ringan yang kebetulan terserak dilantai dalam perkelahian tadi. Menatap Laut sejenak seolah minta ijin. Laut segera mengambil kaleng minuman dari tangan Timur, membuka tutupnya menyodorkan kembali buat Timur. Dia meminumnya seteguk untuk sedikit mengurangi rasa hausnya, lalu menyerahkan kembali kepada Laut.
“Terimakasih”
Sungguh, Laut diterpa badai hati yang menyayat sekaligus menghibur dari ucapan-ucapan Timur yang tak pernah disangka-sangkanya akan meluncur begitu saja. Timur mengucap terimakasih padanya adalah barang mewah dan langka selama ini.
“Dia meminta untuk aku ceraikan.”
Tak ada cara lain, untuk membasuh kerongkongannya yang tandas Laut meminum sisa minuman ringan yang ada ditangannya sebanyak-banyaknya, jiwanya bergolak dahsyat lalu mengambil rokok dari lantai, mencari korek, Timur memantikkan korek ke batang rokok Laut. Kepala mereka sama-sama tersandar pada dinding kayu, kaku. Keheningan yang asing menghinggapi hati mereka berdua dalam nuansa yang berbeda.
“Ketahuilah, aku mencintainya sebagaimana engkau mencintainya. Aku tidak akan menceraikannya. Dia dan Laskar adalah matahariku.”
Laut membuang asap rokoknya ke atas, menekuk sedikit sebelah kakinya sambil menyisir kebelakang dengan tangan kanan rambut setengah gondrongnya yang basah keringat. Memalingkan wajah ke arah pintu sanggar dengan gundah.
“Lalu?”
Timur menatap datar sebuah foto berbingkai daun lontar, foto Jora dan Laut beberapa tahun yang lalu, yang terpaku kuat pada dinding kayu ruangan Laut. Hanya sebuah gambar, hatinya harus rela, karena mereka telah dulu ada. Keserakahannya mulai terkikis karena dia tahu, betapa cinta tulus tak mudah terputus atau diputus. Tetap berjalan mulus apa adanya.
“Aku bukan lelaki sempurna yang bisa memberinya anak. Bergumul dengan cairan-cairan kimia sekian tahun dan beberapa kecerobohanku selama di lab membuatku mandul. Hidupku terasa hancur ketika aku divonis seperti itu. Aku merasa bukan lelaki. Aku merasa menjadi banci. Namun aku sadar, ini resiko atas pilihanku.”
“Lalu?”
“Ketika Mawar bercerita tentang perceraian Jora dengan Abi. Tiba-tiba aku merasa menemukan tujuan hidup. Aku ingin menjadi lelaki normal. Memiliki istri dan anak. Meski anak itu bukan darah dagingku. Tapi aku ingin menjadi ayah yang baik. Dan itu bisa kudapatkan dari Jora. Meskipun aku tahu bahwa engkau adalah kekasihnya, aku yakin engkau akan rela melepas Jora untukku yang secara lahir, lebih tepat untuknya.”
Sinar kemarahan kembali membersit dimata Laut saat kalimat terakhir terlontar. Ujung matanya melirik sinis Timur, namun kembali lumer saat melihat guratan kelelahan dan kelemahan memancar dari wajah Timur. Dia masih memelihara keangkuhan dalam keputusasaannya runtuk hati Laut. Selalu menyukai apa yang disukai Laut, dalam banyak hal. Walau dengan berbagai cara. Timur parasit pengganggu bagi Laut, sekaligus jadi rindu yang selalu ditutupinya kepada Timur,bila dia jauh. Untuk itulah dia banyak mengalah, sebagai wujud Kasih dan penghormatan untuk kembarannya.
“Aku sangat menyayangi mereka. Kesalahanku, tidak sejak awal menceritakan kemandulanku ke Jora, karena aku masih berharap dengan terapi medis aku bisa menjadi lelaki normal. Bisa menyemai benih ke dalam rahim istriku!”
Tatapan Laut menekur kosong ke lantai.
“Aku menemuimu bukan untuk menjual kesedihan. Toh aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Meskipun hatiku terluka, hancur karena kamu menghamilinya.”
“Baik, ceraikan dia! Aku akan menikahinya kalau kamu tidak bisa menerimanya.”
“Tidak. Aku sangat mencintainya. Laskar juga sudah bisa menerimaku sebagai ayah. Dia memanggilku daddy. Kami sering bermain bersama. Aku begitu menikmati kebersamaan kami.”
Timur tersenyum begitu getir.
“Aku minta maaf,Timur.”
Kakakku, Timur..engkau pasti lebih sakit dariku, adikmu.. Perseteruan yang kau tumbuhkan selama ini tidak menghasilkan apapun selain luka yang dalam bagi kita berdua, bathin Laut. Inilah kata paling lembut yang bisa diusahakannya terlontar dari bibirnya yang kering.
“Jagalah mereka. Peliharalah mereka! Jora dan laskar rahimnya.”
Tidak sanggup Laut menambahkan sayatan di hati kembarannya dengan mengatakan apa adanya terhadap anaknya yang ada dikandungan Jora serta Laskar anak Jora dari perkawinan sebelumnya, yang juga telah menyatukan hati Timur dan Laut didiri bocah lucu dan tampan itu.
Mereka berpelukan, erat. Suatu yang nyaris tak pernah terjadi sepanjang sejarah persaudaraan kembar mereka. Pelukan persaudaraan dan kasih sayang, serta bentuk komitmen dua lelaki yang tersayat.


SEBUAH NAMA

Senja merubung, Laut masih merunuti jejaknya dengan tarian ruh jemari pada notebook-nya. Menghadap ke arah terbenamnya matahari, duduk santai dirimbunan bunga-bunga yang mulai kurang terawat namun masih menawarkan kenyamanan meski beberapa bulan tak ditempati pemiliknya. Sambil menikmati kentalnya kopi hitam buatan mang Diman yang masih setia bekerja untuknya, sampai sanggar sekaligus rumah bagi Laut itu terjual. Kepulan asap putih sedikit kekuningan dari rokok yang masih menyala di asbak kayu, merupakan suasana nyaman yang menenangkan bagi Laut.
Dia ke Jakarta karena transaksi penjualan sanggar itu akan dilakukan besok sebab ada pembeli yang sudah cocok. Laut tidak terlalu memperhitungkan berapa nilai jualnya, yang penting lebih cepat lebih baik. Sehingga dia bisa membangun kembali istana mungil yang menyatu dengan alam impiannya segera bisa dimulai.
Jika tidak bisa selamanya, setidaknya untuk jangka beberapa tahun. Tempat pilihannya dipunggung tanah berbukit-bukit yang rimbun, melewati sebuah jalan desa. Dia membeli sebidang tanah yang menghadap ke timur, sehingga dia dengan leluasa bisa menatap keindahan yang menakjubkan saat matahari terbit dari balik gunung yang menjulang di sisi timur daerah itu.
Bayangan keindahan dalam kedamaian sudah mematri otaknya sehingga dia ingin segera memulai. Namun kehadirannya beberapa hari di Jakarta tercium juga. Bahkan oleh orang yang bermaksud dihindarinya. Karena episode paling bergolak dalam hidupnya masih meninggalkan bekas. Bagaimana akan menyeruak kepermukaan kembali dalam hitungan baru beberapa bulan saja.
Ini karena Timur tiba-tiba masuk tanpa disadarinya.dan duduk di bangku taman yang menghadap ke selatan.. Laut tetap mengetik, tak menghentikan ketukan pada tuts notebook, diam. Laut tak memperhatikan kehadirannya karena begitu khusyuk dengan kata-kata yang dirangkainya.
Terdengar suara mendehem ringan di sisi kirinya yang tentu saja buat dirinya sedikit tersentak. Suara itu dikenalnya dengan sangat baik, ujung matanya sedikit melirik ke kiri sekedar untuk memastikan. Ah, ada apa lagi! Mengambil rokoknya yang masih menyala di asbak kayu itu, menghisap sebentar dan dihembus kearah sinar matahari senja yang masih tersisa. Sebenarnya itu hisapan yang nikmat, tapi sangat menjadi tidak nikmat kini.
“Dari mana kau tahu, kalau aku ada di sini?”
Dengan tanpa menoleh Laut berujar.
“Bukan hal yang sulit bagiku untuk mengetahui keberadaanmu. ..Selamat. Bidadari mungil itu telah lahir.”
Datar ucapan Timur, membuat Laut tersentak, seketika menghentikan ketikannya. Serius menatap Timur.
“Kapan?”
“Kemarin lusa. Sekarang dia sudah di rumah.”
Laut meletakkan notebook nya dimeja kayu taman yang di politure coklat tua, yang sudah luntur dan di sana sini menampakkan rupa kayu aslinya. Hatinya berdegup membayangkan sosok bayi mungil dari benihnya. Rasa ingin melihat wajah bayinya menyeruak.
“Dia cantik..”
“Mirip denganmu.”
Kalimat-kalimat singkat dari Timur, seakan membuatnya ingin bisa menghilangkan raganya, tak terlihat siapapun untuk menatap wajah cantik bayinya bersama ibunya. Dengan kerongkongan yang sedikit tersedak Laut berucap pelan.
“Bila dia mirip aku, tentu dia mirip juga denganmu, meski hanya sedikit.”
“Apa kau ingin melihatnya?”
. Ah, kenapa Timur mesti datang mengabarkan kelahiran hasil benihnya. Ini kebodohan Timur yang jenius itu, membuat hatinya terganggu lagi.
“Bagaimana keadaan hatimu saat ini setelah menjadi seorang ayah dan suami Jo..?”
Laut tidak meneruskan kata terakhirnya, bahkan seluruh kalimat tanya itu, harusnya bukan milik Timur. Karena Timur memang tidak memilikinya. Artifisial belaka namun Laut khawatir kalimatnya tadi akan menyiksa Timur. Pandangan Laut semakin tak lepas dari setiap pori-pori wajah Timur, air wajahnya serta sorot matanya. Wajah yang hampir serupa dengan watak yang berbeda.
“Aku telah menerima dan menyukai peran sebagai ayah. Semua orang menyangka bidadari itu adalah benihku, walau mbak Lini sekalipun. Ini tetap antara Engkau, Aku, Jora..dan Tuhan! Aku tetap nampak sebagai lelaki normal yang bisa meneruskan keturunan, itu yang kuharapkan,walaupun dari uji klinis bahwa aku tidak bisa membuahi rahim,tapi dokter-dokter itu pun percaya kalau keajaiban selalu bisa terjadi.”
“Bidadarimu, bidadariku, bidadari kita ini semoga akan sejahtera karena tunjangan dan fasilitas perusahaan akan bertambah termasuk asuransi buatnya nanti. Jadi, aku sangat menyukai tugas baruku sebagai seorang ayah untuk….anak kita ”
“Begitukah?”
“Yakinlah,…kebahagiaan anak itu, adalah kebahagiaan kita. Aku telah mengubah pandanganku yang keliru akan arti persaudaraan kita sampai pertemuan kita terakhir lalu. Aku akan jadi seorang kakak sesungguhnya buat adik kembaranku, kamu Laut! Dan aku tidak akan pernah berubah pikiran atas komitmen kita. Aku akan merawat bidadari mungil itu.”
Dari raut wajah Timur memberi keyakinan pada Laut kini. Timur segera melanjutkan.
“Aku tidak bisa lama bersamamu, maafkan. Karena sebentar lagi aku ada meeting. Adakah yang engkau inginkan?”
“Hmm,bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Katakanlah..”
“Sejak dulu aku sudah merangkai nama nama yang bagus,hmm.. apakah engkau ijinkan?”
Timur lalu tersenyum mendengar kalimat Laut.
“Ya. Kamu berhak memberi nama. Tadi Jora juga tanya akan diberi nama siapa. Aku jawab, nanti malam jawabannya. Karena aku ingin kamu, ayah biologisnya yang memberi nama.”
“Terima kasih. Beri nama dia Kemilau Rinjani. Panggilannya, Key. Kunci!”
“Hmm, bagus, nama yang indah aku setuju. Seperti menyiratkan suatu tempat. Aku ingat dimana itu, dulu kami pernah survey..Apa kamu tinggal disana sekarang?”
Laut buru-buru menyela supaya Timur tidak menerka-nerka dimana dia sekarang tinggal.
“Ah, tidak..kebetulan saja aku terinspirasi nama gunung itu. Elok, menjulang, kuat, tak mudah ditaklukkan para pendaki. Aku berharap kelak dia berwajah rupawan dan sebagai bidadari yang kuat tidak mudah ditaklukkan orang.”
“Itu nama yang cocok buatnya. Baiklah, aku harus pergi. Semoga kamu segera merangkai kebahagiaan hidupmu, La. Sebagaimana aku telah menerima kehidupanku saat ini.”
Setelah punggung Timur menghilang dibalik pintu sanggar itu, Laut mengibaskan tangannya takut mengingat sesuatu yang setitik demi setitik di kikis dari memorinya. Melihat pada kartu nama Timur yang masih dipegangnya. Semula dia ingin membuang kartu nama itu. Menghanguskannya mungkin lebih baik, dia sudah memegang korek apinya. Tapi pikirannya melintas, membakarnya berarti dia tidak menghormati. Ah..!!
Lagu senja menyingkap sepi, meredam gulita yang terlintas sesaat. Tetap ingin kubunuh kisahku, tepian yang harus ku akhiri. Semua bayang adalah kematian, yang tak pernah terkikis, otak yang sakit tak tersembuhkan…tapi aku harus sembuh dengan kepergianku dari kalian…
Begitu guratan senja yang dirasakan Laut, tertulis rapi pada kotak sucinya, di kuil persembahan abadi. Koper electronic, koper cyber-nya, notebook!


SATU TAHUN KEMILAU

Harmoni keluarga karena kompromi hati, membuat Timur benar-benar merasa jadi sang imam buat orang-orang terkasih titipanNya.
Usai ulang tahun ke 1 Key yang mereka rayakan di sebuah panti asuhan bayi, mereka menyuarakan bahagia hati dengan canda riang di taman bunga dilingkungan perumahan tempat tinggal mereka, satu kawasan real estate prestisius. Taman yang cukup luas ditata dan terawat. Ditumbuhi aneka bunga yang indah dan dilengkapi pula dengan sarana bermain utuk anak.
Timur dan Jora duduk di sebuah bangku melihat Laskar dan Key duduk dan bermain ayunan. Laskar sesekali turun mengayun-ayun kursi, lalu duduk di samping kanan Key sambil memegangi tangan Key yang nampak sering menyimpulkan senyum menatap Jora dan Timur. Suaranya nyaring, setengah cadel, namun begitu merdu terdengar.
“Daddy…daddy…nanny…”
Sambil tangan mungilnya melambai-lambai. Jora dan Timur membalas lambaiannya dengan senyum mengumbar kasih.
“Dad, boleh aku tanya.”
“Ya.”
“Dari mana dad dapat nama Kemilau?”
“Pentingkah bagimu?”
“Ya sudah. Kalau dad menganggapnya nggak penting nggak papa. Nggak usah dijawab.”
“Nama itu dari Laut.”
Jora kaget, meski dari semula telah menduganya.
“Kalian bertemu?”
“Kamu ingin bertemu dia?”
“Nggak. Kamu, Laskar, Key. Sudah cukup memenuhi ruang hatiku. Laut masa lalu.”
“Yang tak pernah hilang. Karena dia tetap ada dalam darah Key.”
“Sudahlah dad. Jangan mulai lagi. Semua..”
“Jangan berpikir aku cemburu. Aku harus adil. Besar hati ketika kamu ingat dia. Karena dia juga telah besar hati untukku. Menikahimu, mendapatkan Laskar dan Kemilau.”
Jora hanya menjawab dengan menyandarkan tubuhnya pada Timur yang menyambutnya dengan ciuman lembut pada keningnya.
“Dia bilang dia juga menyayangi Key, ketika dia titipkan ke aku nama Kemilau Rinjani setahun yang lalu.”
Jingga sang senja yang mulai memudarkan warna, karena sang bintang raksasa mulai mendatangi peraduan malamnya, membuat tatapan Laut mulai berkabut. Segera dia menata mundur langkahnya pelan-pelan, setelah Laskar menggandeng Kemilau berlari-lari kecil ke arah Timur dan Jora yang menyambutnya dengan pelukan bahagia. Timur mengangkat Key tinggi-tinggi dan meciuminya berkali-kali, sementara Jora mengusap kening Laskar yang penuh keringat.
Laut dari sudut taman yang rimbun, dengan kaca mata hitam dan topi berlogo Harley Davidson nya, hanya menatap Key dengan teduh, berucap lirih,”Akulah ayah sesungguhmu..bidadari mungilku.”
Matanya terasa hangat, segera merogoh saku bajunya. Menyalakan sebatang rokok untuk mengalihkan rasa hatinya. Menatap kembali bidadari itu yang kini berada dalam pangkuan Jora. Bidadarinya seperti memandang ke arahnya, walaupun bocah itu tidak mengerti apa yang tengah dipandangnya yang jelas matanya mengarah kepada Laut yang berada jauh di depannya.
Laut mencoba tersenyum dan sedikit melambai ringan. Tatapan bidadari mungilnya seakan tengah memanggilnya untuk menggendong dan menimangnya.
Sebelum beranjak dari tempatnya berdiri, dia menatap seraya menggumamkan kata hatinya yang terdengar serak.”Kemilau Rinjani, bidadari mungilku…suatu hari engkau akan memandangiku dengan mengerti.”
Elang Laut pergi menjauh dari keluarga indah yang penuh warna kompromi hati itu. Berkelana selamanya. Berkarya dimana-mana dengan nama beda, Elang Legenda, dia selalu sembunyi di hutan cemara kisah dan menetap di lembah Rinjani Lombok, pulau impian berbulan madu, andai dulu dia bisa menikahi Jora dengan cinta bersyarat!




Apt.Taman Anggrek, senja, l20l08 tersambung manis, pagi 160209, malam 130309 di Menteng Dalam, usai begitu cantik, senja, 240309 di Ampenan Lombok
Imajiku untuk Eaglenest di bumi Timika yang sudah tidak ada
Dan energi Sun Eagle di bumi Rinjani yang kini ada

Sebelumnya: LIUKAN SANG PENARI(PUISIKU YG TERTINGGAL DI KUALA LUMPUR)
Selanjutnya :
MAKALAHKU BUAT WAJAH KEPENGARANGAN MUSLIMAH NUSANTARA DI KUALA LUMPUR


Dalam membuat puisi ada beberapa hal yang harus kita perhatikan,yaitu sebagai berikut.

1. Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang hendak kita ungkapkan dalam puisi yang kita buat.Tapi,bagi seorang pemula kadang-kadang sulit untuk menentukan tema yang cocok untuk puisinya.Namun,tema dapat digali(eksplorasi) mdari pengalaman hidup,kejadian yang pernah kita alami,atau imajinasi.

2. Diksi
Dalam puisi,kata-kata yang digunakan bersifat konotatif dan puitis.Konotasi atau kias berarti memiliki kemungkinan makna lebih dari satu.Puitis berarti mempunyai efek keindahan dan berbeda dari kata yang kita gunakan sehari-hari.

3. Rima
Rima juga sering disebut sajak atau persamaan bunyi,merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk menghasilkan efek merdu.Dalam puisi,penggunaan rima puisi sangat mendukung suasana hati.Ada dua bunyi merdu yang umum dalam puisi,yaitu aliterasi dan asonansi.Aliterasi merypakan bunyi merdu yang dihasilkan oleh huryf mati atau konsonan,sedangkan asonansi adalah bunyi merdu yang dihasilkan oleh huruf vokal.

4. Gaya Bahasa
Selain dari unsur-unsur yang telah dijelaskan di atas,unsur puitis yang lainnya adalah gaya bahasa atau bahasa kiasan.Gaya bahasa menyebabkan puisi menjadi segar,hidup dan menjelaskan gambaran angan.Sifat umum gaya baghasa dalam puisi itu mempertalikan sesuatu dangan cara menghubungklan dengan Sesutu yang lain.

source: Randi SMA Muara Teweh
Cara Baru Membuat Puisi
Langkah-langkah dalam membuat puisi :
1.    Carilah judul yang sederhana
2.   Buat puisi dengan cara melengkapi kalimat
3.   Langkah awal guru menyiapkan kata-kata untuk melengkapi kalimat itu
4.   Langkah berikutnya melengkapi kalimat sendiri.

Contoh 1 :
Lengkapi kalimat dengan kata-kata yang sudah tersedia !

BUNGA
Warnamu...merona
...harum mewangi
Tatkala ku pandang begitu...
Membuat...senang
Oh, Tuhan...
Terima kasih atas...Mu
a
Indah
b
Hati
c
Merah
d
Anugrah
e
Semerbak
f
Ku
g
Engkau

Jadilah sebuah puisi yang indah.
Bunga
Warnamu merah merona
Semerbak harum mewangi
Tatkala kupandang begitu indah
Membuat hati ku senang
Oh, Tuhan ku
Terima kasih atas anugerah Mu

Contoh 2 :
Melengkapi kalimat sendiri

Bunga
Kulihat warna-warni bunga di...
Begitu nyaman bila ku...
Aku...senang
Ku tak bosan untuk...
Rasanya ingin ku...
Lalu ku...dalam kamar
Ku cium dan ku persembahkan untuk mu yang...

Setelah kalimat-kalimat di atas dilengkapi jadilah sebuah puisi yang indah.

''Bunga
Kulihat warna-warni bunga di taman
Begitu nyaman bila ku pandang
Aku tersenyum senang
Ku tak bosan untuk memandang
Rasanya ingin ku petik
Lalu ku simpan dalam kamar
Ku cium dan ku persembahkan untuk mu yang tersayang.

Catatan :
1.    Siswa dapat melengkapi kalimat dengan baik dan benar.
2.   Siswa dapat membuat puisi dengan mudah dan tidak membosankan.
3.   Siswa akan tertarik dan menyukai untuk membuat puisi.
Parade Puisi Cinta yg di persembahkan oleh Pakde Cholik, ternyata berdampak sangat besar pada kemajuan kreatifitas menulis Blogger Indonesia khususnya menulis bait-bait puisi. Hal tersebut membuat saya tergugah untuk membagikan sedikit pengetahuan saya tentang puisi dan cara-cara penulisannya.

Apa sih Puisi itu?

Puisi adalah rangkaian atau susunan kata yg indah, bermakna, dan memiliki aturan serta unsur-unsur bunyi.

Bagaimana menciptakan sebuah puisi yg indah?

Menulis puisi biasanya dijadikan media untuk mencurahkan perasaan, pikiran, pengalaman, dan kesan terhadap suatu masalah, kejadian, dan kenyataan di sekitar kita.
Nah langkah-langkah penciptaan puisi itu sendiri terdiri atas empat tahap penting, yaitu :
1.    PENCARIAN IDE, dilakukan dengan mengumpulkan atau menggali informasi melalui membaca, melihat, dan merasakan terhadap kejadian/peristiwa dan pengalaman pribadi, sosial masyarakat, ataupun universal (kemanusiaan dan ketuhanan).
2.   PERENUNGAN, yakni memilih atau menyaring informasi (masalah, tema, ide, gagasan) yg menarik dari tema yg didapat. Kemudian memikirkan, merenungkan, dan menafsirkan sesuai dengan konteks, tujuan, dan pengetahuan yg dimiliki.
3.   PENULISAN, merupakan proses yg paling genting dan rumit. Penulisan ini mengerahkan energi kreatifitas (kemampuan daya cipta), intuisi, dan imajinasi (peka rasa dan cerdas membayangkan), serta pengalaman dan pengetahuan. Untuk itulah, tahap penulisan hendaknya mencari dan menemukan kata ataupun kalimat yg tepat, singkat, padat, indah, dan mengesankan. Hasilnya kata-kata tersebut menjadi bermakna, terbentuk, tersusun, dan terbaca sebagai puisi.
4.   PERBAIKAN atau REVISI, yaitu pembacaan ulang terhadap puisi yg telah diciptakan. Ketelitian dan kejelian untuk mengoreksi rangkaian kata, kalimat, baris, bait, sangat dibutuhkan. Kemudian, mengubah, mengganti, atau menyusun kembali setiap kata atau kalimat yg tidak atau kurang tepat. Oleh karena itu, proses revisi atau perbaikan ini terkadang memakan waktu yg cukup lama hingga puisi tersebut telah dianggap ''menjadi'' tidak lagi dapat diubah atau diperbaiki lagi oleh penulisnya.
Baiklah... sekarang akan saya jelaskan satu persatu secara rinci.
Dalam menulis puisi, yg pertama-tama dilakukan adalah menentukan tema. Tema adalah pokok persoalan yg akan dikemukakan dalam puisi tersebut.
Nah... jika sudah menemukan dan menentukan tema yg akan ditulis menjadi puisi, kita perlu mengembangkan tema itu.

Hal-hal apa yg akan dikemukakan dalan puisi?

Hal-hal yg akan dikemukakan dalam puisi itu dapat dicari melalui pemikiran atau pengamatan. Secara mudah, misalnya kita akan menulis puisi yg berhubungan dengan kehidupan seorang sahabat yg sedang patah semangat karena menderita suatu penyakit.
Setelah menentukan masalah tema tersebut kita akan melakukan pengamatan di lapangan tentang kehidupan sang obyek. Dan dari hasil pengamatan itulah kemudian dipilih lalu ditentukan mana-mana yg akan diungkapkan dalam puisi.

Dalam mengungkapkan kata-kata ke bentuk puisi diperlukan pemilihan kata-kata yg tepat, bukan hanya tepat maknanya melainkan juga harus tepat bunyi-bunyinya. Penyusunan kata-kata itu harus sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan estetis (indah). Selain itu, pendaya-gunaan majas dan personifikasi harus diperhatikan agar puisi yg dibuat semakin bagus.
Menulis puisi sangat bertolak-belakang dengan menulis artikel. Kalo dalam penulisan artikel, kita di tuntut untuk menggunakan kata yg tegas dan tidak berbelit-belit, maka dalam penulisan puisi adalah justru sebaliknya. Kita dituntut untuk pandai meng-improvisasikan sebuah keadaan menjadi rangkaian kata-kata yg enak dibaca dan penuh dengan makna tersembunyi.

Saya kasih contoh misalnya keadaannya seperti ini :

ketika saya duduk-duduk di taman, saya melihat seekor kucing sedang makan tikus dengan sangat rakus, sehingga menimbulkan bunyi kriuk-kriuk yg begitu menjijikkan.

Maka kalo keadaan itu diterjemahkan ke dalam satu bentuk puisi akan menjadi seperti ini :

lihatlah...
kucing jantan sedang asyik mencumbu kepala tikus...


Penjelasan :
- mengapa kita harus memilih kata lihatlah... bukan ku lihat...?
Dalam konteks ini tujuan kita adalah mencoba mengajak pembaca untuk ikut merasakan apa yg sedang kita rasakan. Lha kalo kita memilih kata ku lihat... maka berarti kalimat tersebut hanya ditujukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk pembacanya.
- mengapa kita harus memilih kucing jantan bukan kucing betina atau kucing saja?
Tujuannya disini adalah sebagai penegasan untuk memperkuat makna, sebab kata jantan itu sendiri sudah memiliki makna kuat, garang, ganas dsb. Kalo kita hanya memakai kata kucing saja, kalimat tersebut akan menjadi kurang tegas, terlebih kalo kita memilih kata kucing betina. Itu justru akan membuat lemah makna yg terkandung.
- lalu mengapa kita harus memilih kata mencumbu bukan memakan?
Tujuannya adalah untuk memperluas makna, kalo kita pilih memakan paling pembaca mikirnya gini, halah cuma gitu doang, memasukkan makanan ke dalam mulut. Akan sangat jauh berbeda dengan ketika kita memilih kata mencumbu. Pembaca akan mendapatkan banyak imajinasi dari pemakaian kata mencumbu disini. Bisa diartikan memeluk, menciumi, menjilati, melumat dsb.
- sedangkan kata kepala tikus, disini berfungsi untuk memfokuskan perhatian. Kalo kita memilih kata perut tikus, maka perhatian pembaca akan melebar kemana-mana, karena di dalam perut yg begitu empuk terdapat isi yg tentu saja itu ikut termakan dan dipilah-pilah lagi oleh si kucing. Sangat berbeda ketika kita memilih kata kepala tikus. Kepala tikus mengandung makna bahwa tikus yg dimakan itu hanya satu. Selain itu, kata tersebut akan membuat pembaca berimajinasi begini, betapa gemeretaknya ketika gigi-gigi kucing itu sedang beradu dengan tempurung kepala tikus yg begitu keras. Pastilah liur si kucing sampai berceceran dan tentu saja itu sangat sangat menjijikkan.
Dan dari imajinasi pembaca tersebut kita akan sangat mudah dalam memilih kalimat selanjutnya, satu contoh kelanjutannya adalah seperti ini :

lihatlah...
kucing jantan sedang asyik mencumbu kepala tikus...
liurnyapun menetes menimpa rumput lalu membusuk...
hangus..!
dan seiring taring kucing runcing gemerincing...
dst....


Nah... teman-teman sekalian demikianlah kiranya sedikit penjelasan tentang puisi dan cara-cara penulisannya dari saya.
Untuk melihat contoh puisi yg telah saya buat, silakan dibaca dan dimaknai postingan saya yg ini


Oke kalo gitu saya pamit sekarang semoga ini semua bisa bermanfaat, sampai jumpa di postingan say
a berikutnya.




No comments:

Post a Comment

Labels